Kajian Ilmu Mati
Image by Cool Text: Logo and Button Generator - Create Your Own Logo TUNTUNAN LENGKAP MENGURUS JENAZAH – MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI

Jumat, 11 September 2015

TUNTUNAN LENGKAP MENGURUS JENAZAH – MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI

Tidak ada komentar:
TUNTUNAN LENGKAP MENGURUS JENAZAH – MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI
Mukadimah
“HAI ORANG-ORANG YANG BERIMAN, BERTAKWALAH KEPADA ALLAH SEBENAR-BENAR TAKWA KEPADA-NYA DAN JANGANLAH SEKALI-KALI KAMU MATI MELAINKAN DALAM KEADAAN BERAGAMA ISLAM.”(Ali Imran: 102)
“HAI SEKALIAN MANUSIA, BERTAKWALAH KEPADA TUHANMU YANG TELAH MENJADIKAN KAMU DARI DIRI YANG SATU DAN DARIPADANYA ALLAH MENCIPTAKAN ISTRINYA DAN DARI KEDUANYA ALLAH MEMPERKEMBANGBIAKKAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN YANG BANYAK. BERTAKWALAH KEPADA ALLAH YANG DENGAN (MEMPERGUNAKAN) NAMA-NYA KAMU SALING MEMINTA SATU SAMA LAIN DAN (PELIHARALAH) SILATURAHMI. SESUNGGUHNYA ALLAH SELALU MENJAGA DAN MENGAWASI KAMU.”(an-Nisa’: 1)
“HAI ORANG-ORANG YANG BERIMAN, BERTAKWALAH KAMU KEPADA ALLAH DAN KATAKANLAH PERKATAAN YANG BENAR, NISCAYA ALLAH MEMPERBAIKI BAGIMU AMALAN-AMALANMU DAN MENGAMPUNI BAGIMU DOSA-DOSAMU. BARANG SIAPA MENAATI ALLAH DAN RASUL-NYA, MAKA SESUNGGUHNYA IA TELAH MENDAPAT KEMENANGAN YANG BESAR.”(al-Ahzab: 70-71)
Amma bakdu. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah (Al-Quran) dan sebaik-baik bimbingan adalah petunjuk Muhammad (Sunnah Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam). Ketahuilah bahwa seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, sedangkan setiap bid’ah adalah menyesatkan dan setiap yang menyesatkan pasti menjerumuskan ke neraka.
Allah telah berfirman,
“MAHASUCI ALLAH YANG DI TANGAN-NYALAH SEGALA KERAJAAN DAN DIA MAHAKUASA ATAS SEGALA SESUATU. YANG MENJADIKAN MATI DAN HIDUP SUPAYA DIA MENGUJI KAMU, SIAPA DI ANTARA KAMU YANG LEBIH BAIK AMALNYA. DIA MAHAPERKASA LAGI MAHA PENGAMPUN.” (AL-MULK: 1-2)
“TIAP-TIAP YANG BERJIWA AKAN MERASAKAN MATI. KAMI MENGUJI KAMU DENGAN KEBURUKAN DAN KEBAIKAN SEBAGAI COBAAN (YANG SEBENAR-BENARNYA). HANYA KEPADA KAMILAH KAMU DIKEMBALIKAN.”(al-Anbiya’: 35)
Kemudian Rasulullah bersabda,
“APAKAH ARTINYA DUNIA BAGIKU, TIDAKLAH AKU DI DUNIA INI KECUALI BAGAIKAN ORANG YANG TENGAH BERKENDARAAN DAN BERNANUNG DI BAWAH POHON, KEMUDIAN PERGI MENINGGALKANNYA.”1
1Hadis sahih. Telah saya teliti penjelasannya dalam kitab FIQHUS-SIRAH, karya al-Ghazali (hlm. 478), cetakan keempat. Juga dalam SILSILAH HADIS SAHIH (nomor 438). Oleh karena itu, penulis utarakan juga dalam SHAHIHUL-JAMI’ ASH-SHAGHIR.
Kita ketahui bahwa petunjuk Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam dalam masalah penanganan jenazah adalah petunjuk dan bimbingan yang terbaik dan berbeda dengan petunjuk umat-umat lainnya, meliputi perlakuan atau aturan yang dianut umat kebanyakan. Bimbingan beliau, dalam hal mengurus jenazah, di dalamnya mencakup aturan yang memperhatikan sang mayat, yang kelak bermanfaat baginya baik ketika berada di dalam kubur maupun saat tiba hari kiamat. Termasuk memberi tuntunan, yaitu bagaimana sebaiknya keluarga dan kerabatnya memperlakukan mayat.
Dengan demikian, petunjuk dan bimbiingan Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam dalam mengurus jenazah ini merupakan potret aturan yang paling sempurna bagi sang mayat, baik dalam muamalahnya secara vertikal maupun horizontal. Aturan yang sangat sempurna dalam mempersiapkan seseorang yang telah meninggal untuk bertemu dengan Rabb-nya dengan kondisi yang paling baik lagi afdal. Bukan hanya itu, keluarga dan orang-orang terdekat sang mayat pun disiapkan sebagai barisan orang-orang yang memuji Allah dan memintakan ampunan serta rahmat-Nya bagi yang meninggal.
Di dalamnya juga mengatur bagaimana tata cara yang terbaik dalam mengiringi jenazah hingga mengantarkannya ke dalam kubur sebagai penghormatan terakhir baginya. Kemudian, para pengantar –yang terdiri atas keluarga dan orang-orang terdekat– ketika berada di atas kuburnya bersama-sama berdoa dan memohon kepada Allah Taala agar menganugerahkan bagi yang meninggal apa yang paling dibutuhkannya, yaitu keteguhan dalam kehidupan di alam barzah. Mereka juga diajarkan untuk menziarahi kuburnya, memberinya salam dan mendoakannya. Ini sama halnya dengan aturan yang menuntun orang yang masih hidup mengikrarkan tekad untuk berlaku demikian terhadap sesamanya –yang masih hidup di dunia.
Tuntunan Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam yang paling awal sekali yang mesti dilakukan seseorang adalah ketika saudaranya sesama muslim ditimpa sakit keras hendaknya ia mengingatkan akan “kampung akhirat”. Di samping itu, memerintahkan kepada orang-orang yang hadir saat itu untuk menalkin2 (membisikkan/membimbing orang yang hendak meninggal agar mengucapkan syahadat) –mengucapkan berulang-ulang dua kalimat syahadat– sehingga menjadi akhir ucapannya dalam melepas kehidupannya di dunia nan fana ini.
Membisikkan/membimbing orang yang hendak meninggal agar mengucapkan syahadat.
Aturan lain yang tidak kalah esensialnya adalah larangan bagi keluarga yang ditinggalkan, yang melakukan kebiasaan bertentangan dengan ajaran Rasulullah. Misalnya, menangis meraung-raung seraya memukuli anggota badan, merobek-robek pakaian, mencukur habis rambut di kepala sebagai rasa berduka cita yang dalam, dan sebagainya. Ini juga merupakan perilaku yang lazim dilakukan oleh umat lain –umat yang tidak mengimani kehidupan akhirat dan adanya kebangkitan setelah kematian.
Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam mengajarkan kepada umatnya agar bersikap khusyuk (tenang) dalam menghadapi kematian. Kalaulah harus menangisinya maka hendaknya tanpa diikuti dengan suara ratapan. Kejadian seperti ini pernah dicontohkan Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam ketika putra tercintanya, Ibrahim, meninggal dunia. Beliau hanya bersedih hati dan menangis serata bersabda, “Mata ini meneteskan air matanya dan hati menjadi sedih, oleh karena itu kita hendaknya tidak mengucapkan kecuali apa yang diridai Tuhan.”
Beliau juga mensunnahkan kepada umatnya agar senantiasa memuji dan memasrahkan diri, bersikap rida, akan segala yang telah menjadi keputusan Allah. Sikap demikian, tentu saja, tidak bertentangan atau menghalangi munculnya rasa sedih disebabkan orang yang dicintainya meninggal dunia. Kendati demikian, beliau sallallahu alaihi wa sallam adalah sosok makhluk Allah yang paling rida dan paling tinggi nilai kepasrahannya terhadap segala keputusan Allah Taala, selain sebagai sosok yang paling tinggi levelnya dalam memuji Allah. Tangisan beliau ketika Ibrahim wafat lebih merupakan ungkapan kesedihan dan kasih sayang terhadap anak.3
3Dari ucapan Ibnul Qayyim yang penulis nukil dari kitabnya, ZAADUL-MA’AAD (I/97) yang lengkapnya seperti berikut, “Ketika pemandangan yang demikian itu sangat menyempitkan dada dalam usaha menyatukan kedua masalah antara kesedihan dan ketertawaan yang dilakukan Rasulullah ketika kematian putranya, Ibrahim. Maka ketika beliau ditanya, “Bagaimana engkau tertawa pada suasana seperti ini?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan dengan qadha-Nya, maka aku pun berusahan untuk selalu merasa rela dengan apa yang menjadi qadha-Nya.”
Hal itu membuat bingung para pakar ilmu sehingga mereka bertanya-tanya: bagaimana Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam menangis ketika Ibrahim meninggal, padahal beliau adalah makhluk Allah yang paling rida akan segala qadha-Nya? Dalam hal ini aku mendengar Syaikhul Islam Ibnu TaimiyahRAHIMAHULLAH mengatakan, “Adalah tuntunan Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam jauh lebih sempurna daripada tuntunan orang alim mana pun. Beliau telah menempatkan dan menunaikan hak ubudiyah kepada-Nya dengan semestinya sehingga lapanglah dadanya dalam menerima segala qadha-Nya dan menaruh belas kasih kepada putranya. Oleh karena itu, beliau kemudian memuji dan bertahmid kepada Allah akan qadha-Nya dan menangis bersedih hati karena kasih sayang kepada putranya. Adapun sebagian orang alim tadi terasa sempit dadanya dalam usaha menyatukan dua perkara dan batinnya tidak mampu menyaksikan keduanya dan menunaikan hak ubudiyah keduanya. Karena itu mereka menyibukkan diri dengan ubudiyah rida-Nya dan mengabaikan ubudiyah kasih sayang dan belas kasih.”Kecenderungan kebanyakan manusia dewasa ini menjauh dari tuntunan Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam dalam banyak bentuk peribadatan. Salah satunya dalam persoalan jenazah. Hal itu disebabkan mereka meninggalkan pengkajian berbagai disiplin ilmu, khususnya ilmu sunnah. Sementara di sisi lai mereka lebih banyak mencurahkan hidupnya demi menekuni ilmu keduniaan yang bersifat materi. Akhirnya, mereka hanya sibuk mengumpulkan harta.
Kondisi seperti itu, telah memotivasi seorang yang mulia untuk meminta kepada saya (penulis) agar membuat sebuah tulisan singkat mengenai adab/tuntunan dalam mengurus jenazah sesuai syariat Islam. (Maksud ini ia kemukakan ketika salah seorang kerabatnya meninggal pada Jumat, 11 Rabiul Akhir 1373 H). Ia menginginkan tulisan itu dapat dicetak dan kemudian dibagikan kepada orang-orang yang datang bertakziah (berbelasungkawa). Ia berharap, suasana berkumpulnya banyak orang itu dapat dimanfaatkan untuk memperkenalkan kembali sunnah Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa sallam. Dengan begitu, mereka bisa tergerak untuk mengikuti sunnah beliau dan menjadikannya sebagai petunjuk serta penerang jalan.
Saat itu, sebetulnya saya tengah menyiapkan beberapa artikel penting untuk dibukukan juga. Namun, saya berjanji akan memenuhi permintaannya mengingat hal ini merupakan usaha untuk menghidupkan kembali sunnah Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam dan sekaligus mengubur bid’ah-bid’ah yang selama ini menjadi tradisi dalam masyarakat.
Akan tetapi, dalam kenyataannya usaha memenuhi permintaan tersebut –agar artikel itu tersajikan dengan cepat– tidaklah semudah membalik telapak tangan. Persoalannya, belum lagi saya memulai mengumpulkan berbagai bahan yang ada kaitannya dengan masalah jenazah, ternyata keberadaannya di luar dugaan. Dengan demikian, sangat mustahil dapat disajikan dalam bentuk pamflet (buku saku) untuk dibagi-bagikan dalam setiap kesempatan bertakziah. Hal ini dikarenakan ajaran Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam yang berkenaan dengan adab jenazah dan hukum-hukumnya sangatlah banyak. Bahkan, pada bagian-bagian tertentu terdapat banyak perbedaan pendapat para ulama. Di antara mereka ada yang mengharamkan sesuatu, sementara yang lain membolehkannya. Sebagian mereka ada yang mewajibkan sesuatu, sedangkan yang lain tidak demikian. Satu kelompok menyatakannya sebagai sunnah dan yang lain melihatnya sebagai bid’ah. Demikian seterusnya, sebagaimana banyak dijumpai pula dalam persoalan-persoalan lainnya, yang memang telah disinggung dalam firman-Nya,
TETAPI MEREKA SENANTIASA BERSELISIH PENDAPAT, KECUALI ORANG-ORANG YANG DIBERI RAHMAT OLEH TUHANMU…”(Hud: 118-119)
Tentu saja, kenyataan seperti itu mengharuskan saya untuk memulainya dengan mengumpulkan semua permasalahan yang ada kaitannya dengan jenazah. Kemudian mengkaji dan menelaahnya dengan penuh ketelitian dan kejelian. Tidak berhenti di situ, saya pun merujuki setiap dalilnya dan menelitinya sesuai dengan disiplin ilmu MUSTHALAHUL-HADITS, ushul fikih, serta memilah dan memilih mana yang RAJIH ‘kuat’ dan mana yang marjuh (terselisih karena terungguli), tanpa dibarengi adanya unsur kecenderungan terhadap mazhab tertentu ataupun bersandar pada adat istiadat yang berlaku atau yang banyak diikuti orang kebanyakan –yang seolah-olah sebagai ajaran dogmatis.
Satu hal yang memang bukan rahasia lagi bagi kalangan ulama bahwa untuk mewujudkan pekerjaan semacam ini membutuhkan kerja keras dan kesabaran luar biasa serta waktu yang tidak sedikit. Setelah semua terpenuhi, barulah dapat mewujudkan satu bentuk risalah ringkas seperti yang dimaksudkan saudara kita tadi. Ini saya lakukan agar dapat menenangkan dan menenteramkan jiwa serta menghasilkan manfaat. Oleh karena itu, saya utarakan kepadanya sambil memohon maaf dan ia pun menerima alasan saya. Meski demikian, ia tetap saja menuntut saya untuk mewujudkan permintaannya dan bahkan terus memberikan dorongan yang luar biasa.
Saya mulai menyusun dengan memunajatkan doa memohon pertolongan-Nya, kemudian mengkaji buku-buku rujukan hingga memakan waktu tidak kurang dari tiga bulan. Siang malam saya bekerja ekstra keras dan bergumul secara intens dengan buku-buku sehingga terwujudlah sebuah buku yang insya Allah baik, seperti yang kini di hadapan para pembaca.
Sebenarnya untuk mewujudkan buku yang selengkap ini membutuhkan waktu yang jauh lebih lama dari yang semula diperkirakan. Hanya saja, sebagian besar permasalahan yang ada dalam kandungan buku ini –terutama dalil-dalilnya, seperti ayat-ayat Alquran dan hadis– pernah saya kemukakan dalam banyak karya tulis saya. Maka saya hanya tinggal mengutip dan menukilnya ke dalam sebagian besar isi buku ini.
Perlu diketahui pula, dalam menyusun buku ini saya berusaha untuk lebih detail karena ketika membahas permasalahan yang ada dalilnya dari Quran dan Sunnah. Sebaliknya, saya sering mengabaikan persoalan-persoalan yang hanya bersandar pada pendapat seseorang (ijtihad atau qiyas). Saya berprinsip, permasalahan pengurusan jenazah merupakan bentuk peribadahan yang murni, yang tidak memberikan kesempatan untuk menggunakan pengqiyasan (ijtihad), kecuali dalam masalah-masalah yang memang mengharuskan kita untuk berijtihad dengan menggunakan penqiyasan yang kuat.
Selain itu, pada permulaan penyusunan buku ini saya kemukakan banyak permasalahan yang umumnya tidak dikemukakan dalam kitab-kitab fikih, seperti masalah wasiat, tanda-tanda husnul-khatimah (kematian yang baik) dan lainnya. Semuanya ditujukan mengingat demikian pentingnya dan begitu banyaknya manusia yang tertimpa fitnah dalam persoalan ini, termasuk karena kemutawatiran hadis yang diriwayatkan dalam masalah ini.
Adapun urutan penyusunan buku ini secara lengkap adalah seperti berikut.
1. Hal-hal yang wajib bagi orang yang sedang sakit, berupa merasa rida dan bersabar atas takdir, menghilangkan perasaan ingin cepat-cepat mati dan menunaikan hak serta kewajiban, berwasiat dan menyediakan kesaksian.
2. Mengajarkan talkin bagi orang yang tengah menghadapi sakaratul maut dan apa-apa yang merupakan keharusan bagi orang yang tengah berada di dekatnya seperti membimbingnya mengucap syahadat.
3. Hal-hal yang wajib bagi orang yang hadir setelah kematiannya, berupa memejamkan kedua matanya, mendoakannya, mengerakan penguburannya dan secepatnya melunasi segala utangnya (yakni utang sang mayat).
4. Hal-hal yang diperbolehkan bagi yang hadir, berupa membuka kafan untuk melihat mukanya, mencium atau menangisinya.
5. Hal-hal yang diharuskan atas kerabat sang mayat, yakni bersabar, rida atas segala takdir-Nya, berserah diri kepada-Nya, dan ihdad (sikap yang harus dilakukan saat berkabung) wanita kepada suaminya.
6. Hal-hal yang diharamkan kepada keluarga dan orang-orang dekatnya, misalnya meratap, memukul-mukul pipi, merobek baju dan menyebarluaskan kematian lewat menara.
7. Penyebaran berita kematian.
8. Tanda-tanda husnul-khatimah.
9. Pujian-pujian orang yang masih hidup terhadap sang mayat.
10. Memandikan mayat, menyalatkan, hingga menguburkan dan menziarahi kuburnya.
Pada beberapa bagian akhir buku ini, saya menjelaskan ihwal bid’ah yang biasa dilakukan orang berkenaan dengan pengurusan jenazah. Penjelasan ini, saya rangkum dari buku-buku yang pernah disusun oleh para ulama baik terdahulu maupun yang terkini. Dalam hal ini, saya menisbatkan setiap bid’ah pada tempat semestinya yang ada dalam karya mereka, atau yang tidak dinyatakan oleh mereka, akan tetapi merupakan bagian dari bid’ah berdasarkan apa yang saya vonis melalui metode ilmiah dalam pokok-pokok perbid’ahan. Meskipun saya tidak mendapatkan pendapat mereka bahwa hal yang dimaksud merupakan bid’ah –dan hal seperti ini tampaknay banyak kita jumpai pada masa sekarang.
Akhirnya, saya bermunajat memohon kepada Allah Taala agar kiranya buku ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya, dan Allah jadikan buku ini sebagai jerih payah amal saleh yang menghasilkan pahala. Saya juga berdoa agar siapa pun yang membantu mewujudkan penyusunan dan penerbitan buku ini diberi-Nya pahala yang setimpal. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Menerima doa.
HAL-HAL YANG DIWAJIBKAN ATAS ORANG YANG SEDANG SAKIT
1. Bagi orang yang sedang sakit, hendaknya ia rela dengan apa yang telah menjadi ketentuan Allah Taala. Ia juga harus berlaku sabar atas apa yang telah ditakdirkan-Nya dan hendaknya berbaik sangka terhadap Rabb-nya. Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“SUNGGUH MENGAGUMKAN PERKARA ORANG MUKMIN KARENA SEMUA URUSANNYA ADALAH BAIK DAN HAL ITU TIDAK DIMILIKI SEORANG PUN KECUALI HANYA ORANG MUKMIN. JIKA IA DITIMPA KEBIKAN KEMUDIAN BERSYUKUR, MAKA ITU KEBAIKAN UNTUKNYA. BILA IA DITIMPA KEBURUKAN KEMUDIAN BERSABAR, MAKA ITU PUN KEBAIKAN BAGINYA.”
“JANGANLAH SALAH SEORANG DI ANTARA KALIAN MATI KECUALI BERBAIK SANGKA TERHADAP ALLAH TAALA.”
Kedua hadis di atas diriwayatkan oleh Muslim, al-Baihaqi, dan Ahmad.
Orang yang tengah sakit hendaknya selalu dalam kondisi antara takut dan penuh pengharapan (harap-harap cemas). Merasa takut akan azab Allah akibat dosa yang dilakukannya dan mengharap akan rahmat-Nya. Sikap seperti ini dilakukannya dan mengharap akan rahmat-Nya. Sikap seperti ini berdasarkan hadis Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam yang diberitiakan oleh Anas r.a.,
“SUATU KETIKA RASULULLAH SALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM DATANG MENENGOK SEORANG PEMUDA YANG TENGAH MENGHADAPI KEMATIAN, MAKA BELIAU BERTANYA, ‘BAGAIMANA ENGKAU DAPATI DIRIMU?’ PEMUDA ITU MENJAWAB, ‘DEMI ALLAH, WAHAI RASULULLAH, SAYA INI DALAM KEADAAN YANG SANGAT MENGHARAP RAHMAT ALLAH DAN MERASA SANGAT TAKUT AKAN (BEBAN) DOSA-DOSAKU. RASULULLAH SALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM KEMUDIAN BERSABDA, ‘TIDAKLAH KEDUA PERASAAN YANG DEMIKIAN ITU MENYATU DALAM HATI SEORANG HAMBA DALAM KEADAAN YANG DEMIKIAN KECUALI PASTILAH ALLAH AKAN MENGANUGERAHINYA APA YANG DIMINTANYA DAN MENENTERAMKANNYA DARI RASA TAKUTNYA.’ “(HR Tirmidzi, Ibnu Majah, Abdullah bin Ahmad dan Ibnu Abid Dunia)
Bagaimanapun parah sakitnya, seseorang dilarang untuk mengharapkan kematian. Ummu Fadhl r.a. berkata, “Suatu ketika Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam datang menjenguk, lalu mendapatkan Abbas, paman beliau, tengah mengeluh sehingga mengharap kematian, maka Rasul pun berkata kepadanya,
“WAHAI PAMAN, JANGANLAH ENGKAU (SEKALI-KALI) MENGINGINKAN KEMATIAN. KARENA BILA ENGKAU SEORANG YANG BANYAK BERBUAT KEBAIKAN, LALU DIUNDURKAN KEMATIANMU, ENGKAU AKAN SEMAKIN MENAMBAH KEBAIKAN, DAN ITU LEBIH BAIK BAGIMU. BILA ENGKAU BANYAK BERBUAT KEBURUKAN LALU DIUNDURKAN AJALMU, KEMUDIAN ENGKAU BERTOBAT DARI DOSA-DOSAMU, MAKA YANG DEMIKIAN ADALAH LEBIH BAIK BAGIMU. OLEH KARENA ITU, JANGANLAH ENGKAU MENGINGINKAN KEMATIAN.”
Hadis ini diriwayatkan oleh al-Hakim dan dikatakan, “Hadis ini sahih sesuai persyaratan Syaikhain (Bukhari dan Muslim) dan telah disepakati oleh adz-Dzahabi.” Padahal, sesungguhnya hanyalah sesuai dengan persyaratan Bukhari. Terbukti telah keluarkan oleh Bukhari dan Muslim serta al-Baihaqi dan lainnya dari hadis Anas bin Malik r.a. secara marfu’ sanadnya. Di dalam riwayat tersebut disebutkan sebagai berikut, “Dan apabila harus engkau lakukan (yakni mengharap mati), maka hendaknya ia berucap, ‘Ya Allah, hidupkanlah hamba bila hidup itu lebih baik untukku, dan matikanlah hamba bila mati itu lebih baik untukku.’”
Apabila ada kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan hendaklah ia segera tunaikan kepada pemilik-pemiliknya bila hal itu mudah dilakukan. Namun bila tidak, hendaknya ia berwasiat mengenai hal itu. Rasulullah telah bersabda,
“BARANG SIAPA YANG TERDAPAT PADANYA KEZALIMAN TERHADAP SAUDARANYA BERUPA KEHORMATAN4 ATAU HARTANYA, MAKA HENDAKNYA IA MENGEMBALIKANNYA SEBELUM TIBA HARI KIAMAT, DI MANA TIDAK BERLAKU LAGI DINAR ATAU DIRHAM. BILA IA MEMILIKI AMAL KEBAIKAN (AMAL SALEH) MAKA AKAN DIAMBIL DARINYA DAN DIBERIKAN KEPADA YANG BERHAK. NAMUN BILA TAK MEMILIKI AMAL SALEH, MAKA AKAN DIAMBIL KEBURUKAN SI PEMILIK HAK DAN DIBEBANKAN TANGGUNG JAWAB KEPADANYA.”(HR Bukhari dan al-Baihaqi)
4 Kata AL-’URDHU (kehormatan) dapat dijadikan sarana untuk memuji atau mengecam sesuatu yang ada pada manusia. Baik ada pada dirinya sendiri maupun keturunannya, atau siapa saja yang dapat menanggung perkaranya (an-Nihayah).
Dalam hadis lain Rasulullah bersabda,
“TAHUKAH KALIAN, SIAPAKAH ORANG YANG PAILIT (BANGKRUT) ITU? PARA SAHABAT MENJAWAB, ‘ORANG YANG PAILIT ADALAH YANG TIDAK MEMILIKI UANG ATAUPUN BENDA DI ANTARA KITA?’ RASULULLAH BERSABDA, ‘SESUNGGUHNYA ORANG YANG PAILIT DARI UMATKU ADALAH ORANG YANG DATANG PADA HARI KIAMAT DENGAN MEMBAWA PAHALA SALAT, PUASA, DAN ZAKATNYA. NAMUN IA TELAH MENCACI, MEMAKI, MENUDUH, MEMAKAN HARTA, MENUMPAHKAN DARAH DAN TELAH MEMUKUL (MENYAKITI) ORANG LAIN, MAKA IA DIBERI KEBAIKAN-KEBAIKANNYA. BILA KEBAIKANNYA TELAH HABIS SEBELUM MELUNASI KEWAJIBANNYA, MAKA DIAMBILLAH KEBURUKAN-KEBURUKAN MEREKA LALU DIBEBANKAN KEPADANYA, LALU DILEMPARKAN KE DALAM NERAKA.’”(HR Muslim)

Tidak ada komentar:

 
back to top