Kajian Ilmu Mati
Image by Cool Text: Logo and Button Generator - Create Your Own Logo MENGAFANI MAYAT

Jumat, 11 September 2015

MENGAFANI MAYAT

1 komentar:
MENGAFANI MAYAT
Setelah usai memandikan mayat, maka diwajibkan mengafaninya. Hal ini berdasarkan perintah Rasulullah dalam hadisnya yang mengisahkan orang yang memakai ihram terjatuh dari untanya, seperti yang telah saya bahas sebelumnya.
Kafan yang digunakan untuk mayat hendaklah dibeli dari hartanya, sekalipun ia tidak mewariskan kecuali harta yang digunakan untuk membeli kain kafan itu. Hal ini berdasarkan hadis Khabbab ibnul Art, ia berkata, “Kami berhijrah (berjihad) FI SABLILILLAH bersama Rasulullah dan kami hanya mengharap rida-Nya, maka wajib bagi Allah mengganjar kami. Dan kami ada yang belum mendapatkan hasil kemenangan (maksudnya pampasan [ganti rugi] perang), di antara mereka adalah Mush’ab bin Umair yang mati syahid terbunuh dalam Perang Uhud, dan tidak didapati padanya sesuatu pun (dalam riwayat lain: tidak meninggalkan sesuatu) kecuali sepotong kain. Dan ketika kami menutupi bagian kepalanya maka tampak bagian kakinya. Dan ketika kami menutupi bagian kakinya, maka tampaklah bagian kepalanya. Ketika itu Rasulullah memerintahkan kami dengan sabdanya, ‘Tutuplah bagian kepalanya’ (dalam riwayat lai: tutupilah dengan kain tersebut bagian kepalanya) dan tutupilah bagian kakinya dengan idzkhir (rumput-rumputan berbau sedap, penj). Dan di antara kami ada yang mendapatkan hasil dari penaklukan.” (HR Bukhari, Muslim, Ibnul Jarud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, al-Baihaqi dan Ahmad)
Hendaklah kain kafan yang digunakan membungkus mayat mencukupi untuk seluruh tubuhnya. Hal ini berdasarkan hadis dari Jabir bin Abdullah r.a. bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam suatu hari berkhutbah dan menyebutkan bahwa salah seorang dari sahabatnya meninggal dan dikafani dengan kafan yang tidak cukup menutupi seluruh jasadnya dan dikebumikan pada malam hari, maka beliau mengecamnya, “Apabila salah seorang di antara kalian mengafani mayat saudara kalian maka hendaknya membaguskan kain kafannya (jika mampu).” (HR Muslim, Ibnul Jarud, Abu Daud, Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dari Abu Qatadah)
Para ulama berpendapat, yang dimaksud dengan membaguskan kain kafan adalah bersih, tebal, dan menutupi seluruh jasadnya secara sederhana. Jadi, yang diutamakan bukan yang berharga mahal dan terkesan mewah. Akan halnya persyaratan yang dikemukakan Imam Nawawi bahwa kai nkafan yang digunakan hendaknya dari jenis kain yang biasa dikenakan sag mayat semasa hidupnya. Menurut saya, itu perlu ditinjau ulang. Pendapat tersebut tidak ada dalilnya dan kadang-kadang seseorang semasa hidupnya pernah memakai kain yang mahal dan kurang baik. Dengan demikian, yang paling tepat adalah kesederhanaan, tidak terlalu baik dan tidak pula terlalu buruk.
1. Apabila kain yang ada sempit sehingga tidak dapat menutupi seluruh bagian tubuh sang mayat, maka hendaknya diutamakan menutupi bagian kepalanya dan apa yang dapat dijangkau. Sedangkan bagian yang tak dapat terjangkau oleh kain kafan ditutupi dengan apa saja yang dapat digunakan, termasuk di antaranya idkhir dan jenis rerumputan lainnya. Tentang hal ini ada dua hadis sebagai dalilnya.
1. Hadis dari Khabbab ibnul Art yang meriwayatkan tentang Mush’ab bin Umair r.a. yang baru saja kemukakan.
2. Haritsah bin Madhrab, berkata, “Suatu hari aku mendatangi Khabbab yang telah dicantuk (para perutnya) tujuh kali. Khabbab berkata, “Kalau saja aku belum mendengar Rasulullah bersabda, ‘Jangan sekali-kali kalian menginginkan mati,’ maka pasti aku menginginkannya. Sesungguhnya, engkau telah melihat bersama Rasulullah bahwa aku tak memiliki barang satu dirham pun dan sekarang di sebelah rumahku sudah ada empat puluh ribu dirham.” Kemudian didatangkan kain kafannya, seraya menangis ketika melihatnya, dan berkata, “Akan tetapi Hamzah tidak memiliki kain kafan yang menutupi tubuhnya kecuali burdah (serban), yang jika ditutupi bagian kepalanya maka bagian kakinya terbuka, dan bila ditutupi bagian bawahnya bagian kepalanya terlihat. Kemudian ditutupilah bagian kakinya dengan idkhir (rerumputan berbau harum).” (HR Ahmad dan at-Tirmidzi)
Kemudian asy-Syaikhan meriwayatkan dan juga lainnya, lewat jalur sanad lain tentang larangan mengharap mati.
Dan riwayat-riwayat tersebut mempunyai saksi penguat dari Anas bin Malik r.a.
1. Apabila jumlah kain kafannya sedikit, sementara maatnya banyak, maka diperbolehkan untuk mengafani beberapa mayat dalam satu kain kafan, dengan mendahulukan mayat yang paling menguasai Alquran. Hal ini berdasarkan hadis dari Anas r.a. yang berkata, “Seusai Perang Uhud, Rasulullah mendekati jasad Hamzah bin Abdul Muthalib yang telah dipotong hidungnya dan dicabik-cabik isi perutnya, kemudian beliau bersabda, ‘Kalau Shafiyah (adiknya) tidak akan sedih pastilah akan aku biarkan engkau dimakan binatang buas dan burung, hingga kelak dibangkitkan kembali oleh Allah dengan mengeluarkannya dari dalam perut binatang dan burung.’ Beliau kemudian mengafaninya dengan kain seadanya, yang bila digunakan untuk menutupi kepalanya maka terlihatlah kakinya, dan bila digunakan menutupi kakinya maka terlihatlah kepalanya. Beliau akhirnya menutupi bagian kepalanya dan tidak pernah belau menyalati para syuhada kecuali dia (Hamzah) sambil bersabda, ‘Akulah saksi bagi kalian hari ini.’” Anas berkata, “Kala itu banyak sekali yang mati syahid, tetapi sedikit jumlah kain kafannya dan dikuburkan dalam satu liang lahat dua atau tiga mayat, seraya beliau menanyakan siapa yang paling banyak menguasai Alquran, kemudian mendahulukannya dimasukkan ke liang lahat dan mengafani dua atai tiga mayat dengan satu kain kafan.” (HR Abu Daud, at-Tirmidzi, Ibnu Sa’ad, al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ahmad)
2. Tidak diperkenankan melucuti pakaian yang dikenakan seseorang yang mati syahid, tetapi harus dikuburkan bersamanya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ketika memerintahkan penguburan para syuhada Perang Uhud, “Katafanilah mereka dengan pakaian yang melekat di badannya.” (HR Ahmad)
3. Saat mengafani mayat lebih disukai dengan satu kain atau lebih, di atas pakaian yang dikenakannya, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah terhadap Mush’ab bin Umair dan Hamzah bin Abdul Muthalib r.a. (kisahnya telah saya kemukakan pada poin ke-34, 36 dan 37). Di samping itu,
ada dua riwayat lain tentang hal ini.
1. Syaddad ibnul Had berkata, “Ada seorang penduduk dusun datang menghadap Nabi sallallahu alaihi wa sallam, lalu mengimani dan mengikuti ajarannya, kemudian ia berkata, ‘Aku akan berhijrah bersamamu. Kemudian beliau menitipkannya kepada para sahabat. Ketika terjadi Perang Khaibar, Rasulullah bersama pasukannya meraih kemenangan hingga mendapatkan pampasan perang, maka Rasulullah membagi-bagikannya kepara para sahabat. Ketika orang itu mendapat bagiannya, ia bertanya, ‘Harta apakah ini?’ Para sahabat menjawab, ‘Bagian (pampasan) yang Rasulullah bagikan untukmu.’ Ia pun kemudian menerimanya seraya membawanya ke hadapan Nabi sallallahu alaihi wa sallam dan bertanya, ‘Harta apakah ini?’ Beliau menjawab, ‘Bagian pampasan untukmu yang aku berikan.’ Orang itu menjawab, ‘Tidaklah untuk ini aku mengikutimu, tetapi agar aku terkena panah di sini –sambil mengisyaratkan tangannya ke arah kerongkongannya– dan aku mati, lalu Allah memasukkan aku dalam surga.’ Rasulullah bersabda, ‘Bila benar apa yang engkau niatkan, maka benar pula Allah Taala akan janji-Nya.’ Belum lagi berselang lama dari kepegiannya berperang melawan musuh, ia didatangkan kepada Nabi sallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan mati terkena busur anak panah pada kerongkongan yang pernah diisyaratkannya. Nabi kemudian bertanya, ‘Inikah orangnya?’ Para sahabat menjawab, ‘Benar, dialah orangnya.’ Beliau kemudian bersabda, ‘Ya Allah, inilah hamba-Mu yang telah keluar berjihad di jalan-Mu lalu mati terbunuh syahid, maka aku pun menjadi saksinya.’”(HR an-Nasa’i, at-Thahawi, al-Hakim, dan al-Baihaqi)
2. Az-Zubair ibnul Awwam r.a. berkata, “Ketika Perang Uhud, datanglah seorang wanita berlari-lari dan hampir mendekati para korban yang gugur.” Zubair berkata, “Nabi menduga, ia hanya akan melihat mereka, seraya berkata, ‘Wanita, wanita!’” Zubair berkata, “Aku mengamatinya dan aku kira ia adalah ibuku Shafiyah. Aku pun kemudian menghampirinya sebelum wanita itu sampai ke tempat kumpulan korban perang. Wanita itu pun mendorong dadaku. Dan adalah dia seorang wanita kuat, seraya berkata, ‘Peganglah ini, aku tidak rela memberikan untukmu.’ Aku katakan, ‘Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam memanggilmu.’ Wanita itu pun berhenti lalu mengeluarkan dua potong kain sambil berkata, ‘Ini dua helai kain yang sengaja aku bawa untuk saudaraku Hamzah, karena aku telah mendengar bahwa ia gugur. Maka kafanilah dia dengan kedua kain ini.’ Kami kemudian membawa dua potong kain tersebut untuk mengafani Hamzah, namun di sampingnya tergeletak korban lain dari kaum Anshar, yang dibunuh persis sebagaimana dialami Hamzah. Kami merasa tidak sampai hati bila mengafani Hamzah dengan kedua kain sementara orang Anshar itu tak mempunyai kain kafan. Akhirnya, kami putuskan bagi Hamzah satu kain dan bagi orang Anshar itu satu kain, sambil kami perkirakan hingga menjadilah yang satu lebih besar dari yang lain. Akhirnya, kami mengundinya dan mengafaninya masing-masing dengan satu kain.” (HR Imam Ahmad dan al-Baihaqi)
Bagi orang yang berihram maka dikafani dengan dua helai pakaian ihramnya. Hal ini berdasarkan perintah Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam ketika memerintahkan seorang yang berihram mati terjatuh dari umatnya, saat mengenakan kain ihram (seperti telah saya kemukakan pada bagian ke-3).
Lebih disukai dalam mengafani beberapa hal berikut.
1. Menggunakan kain kafan putih, berdasarkan sabda Rasulullah, “Kenakanlah dari pakaian kalian yang berwarna putih karena sesungguhnya warna putih itu merupakan yang terbaik dari pakaian kalian dan kafanilah dengannya.” (HR Abu Daud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Baihaqi, Ahmad, adh-Dhiya’, dan al-Hakim dari Samurah bin Jundub r.a.)
2. Hendaklah kain kafan yang digunakan sebanyak tiga kali lipatan. Berdasarkan hadis dari Aisyah r.a., “Sesungguhnya Rasulullah telah dikafani dengan tiga lilitan kain kafan dari Yaman berwarna putih buatan Suhul (di Yaman) dari kain katun, tidak ada padanya ganis dan tidak pula serban.”(Dikeluarkan oleh enam perawi, Ibnul Jarud, al-Baihaqi, dan Ahmad)
3. Hendaklah pada salah satu lilitannya menggunakan kain yang bergaris apabila memungkinkannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah, “Apabila salah seorang di antara kalian meninggal sedang ia tidak mampu, maka hendaknya menggunakan kafan Hibarah.” (HR Abu Daud, al-Baihaqi dari Wahb bin Munabbah dari Jabir bin Abdillah r.a. secara marfu’)
Sanad riwayat ini sahih sejauh penyidikan saya.
Maka perlu saya tegaskan, riwayat ini mempunyai saksi penguat yang lain dalam periwayatan Ahmad dari Abuz Zubair dan Jabir bin Abdillah r.a. dengan redaksi, “Barang siapa mempunyai keleluasaan harta, hendaknya ia kafani dengan kain dari HIBARAH.” 12
Sanad tersebut adalah sahih, kalau saja tidak karena ‘an’anahnya Abuz-Zubair. Ketahuilah bahwa hadis ini tidaklah bertentangan dengan hadis tentang perintah mengharuskan kain kafan berwarna putih, karena memungkinkan untuk disatukan dari berbagai seginya, seperti sangat dikenal tata caranya di kalangan ulama. Dalam hal ini minimal dari dua segi yang saya lihat dengan gamblang. Pertama, kain putih yang bergaris, berarti dominasi warnanya adalah putih sehingga garis-garisnya sebagai pelengkap saja. Maka mencakup pula hadis perintah mengenakan kain kafan berwarna putih, dengan alasan karena putihlah yang mendominasi dan ibrah itu umumnya diambil dari yang umum. Ini bila kain kafannya hanya satu. Bila banyak malah lebih gampang. Kedua, kain kafan yang dijadikan lilitan pertamanya adalah hibarah (putih bergaris) dan selebihnya (lilitan berikutnya) kain putih. Maka kita telah mengamalkan kedua hadis tersebut. Inilah yang dipahami mazhab Hanafi sekaligus merupakan dalil mereka.Yang menjadi landasan mazhab Hanafi bukanlah hadis yang disandarkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar kepada Abu Daud dari Jabir bin Abdillah, yang menyatakan bahwa Rasulullah dikafani dengan dua kali lilitan dan sekali dengan kain hibarah, kemudian mengatakan: sanad riwayat ini hasan. Ini tidak benar. Mazhab Hanafi tidak berdalil dengannya dan riwayat tersebut tidak ada pada periwayatan Abu Daud. Namun yang ada pada periwayatan Abu Daud dari Aisyah r.a., ketika ia mengatakan, “Kemudian didatangkan kain burdah (sejenis serban) kepada orang-orang yang memandikan Nabi, tetapi mereka menolak dan akhirnya tidak mengafani Nabi dengannya.” Riwayat tersebut sanadnya sahih.
4. Memberikan wewangian dengan parfum tiga kali. Sabda Rasulullah, “Apabila alian memberikan wewangian setanggi kepada mayat, maka hendaklah lakukan dengan tiga kali (putaran).” (HR Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan al-Baihaqi)
Akan tetapi, ketentuan ini tidak mencakup mayat yang dalam kondisi mengenakan kain ihram. Hal ini berdasarkan sabda beliau yang mengisahkan tentang orang yang mati karena terjatuh dari untanya saat berihram, “…dan janganlah kalian beri dia wangi-wangian…”, seperti telah dijelaskan dalam masalah
1.Tidaklah diperkenankan bermewah-mewah dalam memberikan kain kafan dan tidak diperkenankan pula melebih ttiga kali lilitan, sebab yang demikian berarti menyalahi yang dilakukan Nabi sallallahu alaihi wa sallam. Seperti telah disinggung sebelum ini. Selain berdasarkan alasan tersebut, perilaku ini juga mengandung unsur menyia-nyiakan atau membuang-buang harta padahal praktik demikian dilarang dalam syariat, terlebih bila kondisi orang yang hidup (keluarga yang ditinggalkan) lebih berhak untuk memanfaatkannya.
Adapun ihwal mengafani mayat perempuan, dalam hal ii sama dengan yang berlaku bagi laki-laki, disebabkan tidak adanya dalil khusus.
Menurut saya, itu sangatlah tepat dan indah sekali apa yang dikemukakan Abu ath-Thayyib di dalam kitab ar-Raudhatun-Nadiyah (I/165), ketika ia mengatakan, “Memperbanyak lilitan kain kafan dan menggunakan kaiin yang mahal bukanlah perbuatan terpuji.” Kalau saja tidak ada penjelasan melalui nash-nash syariat dapatlah kita katakan bahwa mengafani mayat dengan kain-kain termasuk menghambur-hamburkan harta atau pemborosan. Sebab, yang demikian tidaklah memberi manfaat bagi si mayat dan tidak pula manfaatnya kembali kepada orang-orang yang hidup (ahli warisnya). Semoga Allah memberi rahmat kepada Abu Bakar ash-Shiddiq ketika mengatakan, “Sesungguhnya yang hidup (ahli warisnya) lebih berhak mengenakan kain yang baru.”Itulah pernyataan Abu Bakar ketika penobatannya menjadi khalifah dikenakan pakaian kebesaran kemudian dijanjikan akan dikenakannya pula sebagai salah satu kain kafan yang akan membungkusnya kelak ketika mati.
Akan halnya hadis yang menceritakan bahwa Nabi dikafani dengan tujuh kain adalah riwayat mungkar yang secara tunggal diberitakan oleh perawi yang buruk hafalannya. Baca kitab Nashabur-Raayah (II/261-262).
MENGUSUNG JENAZAH DAN MENGIRINGINYA
1. Diwajibkan bagi muslim untuk membawa (mengusung) jenazah hingga ke kuburan dan mengiringinya. Hal ini merupakan hak mayat terhadap kaum muslimin seluruhnya yang masih hidup. Dalam hal ini banyak sekali hadis yang dapat dijadikan sandaran.
1. Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah bersabda, “Hak seorang muslim terhadap saudaranya sesama muslim ada lima, yaitu menjawab salam, menengoknya ketika sakit, mengiring jenazahnya, memenuhi undangannya, dan mendoakannya ketika bersin.” (HR Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Ibnul Jarud, dan Ahmad)
Dalam riwayat lain ditambahkan, “Dan apabila minta nasihat hendaklah menasihatinya.” (HR Imam Muslim dan Ahmad)
2. Dari al-Bara’ bin Azib r.a., Rasulullah bersabda, “Tengoklah orang sakit dan iringilah jenazah (antarkanlah jenazah) maka akan mengingatkan kalian akan hari akhir.” (HR Ibnu Abi Syaibah, al-Bukhari, Ibnu Hibban, ath-Thayalusi, Ahmad, dan al-Baghawi.)
1. Mengiringi jenazah dalam hal ini ada dua tingkatan; mengiringi dari rumah keluarga sang mayat kemudian menyalatinya, dan mengiringinya dari ruamh keluarga hingga selesai dikebumikan. Kedua tingkatan tersebut pernah dilakukan Rasulullah.
Abu Sa’id al-Khudri r.a. berkata, “Kami mendahului Nabi memasuki kota Madinah. Ketika diberitakan kepada kami ada yang sakit kami memberi kabar kepada Nabi lalu beliau mendatanginya dan memohonkan ampun baginya. Dan ketika telah wafat, Nabi beserta orang-orang yang bersamanya pergi hingga mayat tersebut dikebumikan. Barangkali yang demikian menyita waktunya dan kami merasa khawatir yang demikian menyulitkan beliau sallallahu alaihi wa sallam. Berkatalah seseorang kepada yang lain, ‘Kalau saja kita memberi kabar nabi hingga telah nyata kematiannya, barangkali yang demikian tidak akan menyita waktunya atau membuat beliau tidak nyaman.’ Kami juga pernah melakukan yang demikian, ketika berita kematian sampai kepada kami maka segera kami kabarkan kepada beliau. Kemudian, beliau mendatanginya dan menyalatinya. Kadangkala beliau langsung beranjak setelah menyalati dan kadangkala beliau duduk menunggu lalu mengantarkannya hingga selesai dikebumikan. Kami pun ada kalanya melakukan sebagaimana yang dilakukan Nabi. Kemudian kami katakan, ‘Kalau Nabi tidak muncul di hadapan kami, lalu kami bawa jenazah ke hadapan beliau hingga menyalatinya, barangkali yang demikian justru lebih berkenan baginya. Dan hal itu berjalan hingga hari ini.’” (HR Ibnu Hibban, al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ahmad)
1. Dalam hal ini tidak diragukan lagi bahwa tingkatan kedualah yang lebih utama. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah, “Barang siapa yang menghadiri jenazah sejak dari rumahnya (dalam riwayat lain, “Barang siapa yang mengantarkan jenazah seorang muslim karena keimanan dan mengharapkan keridaan Allah semata”) hingga ia menyalatinya, maka baginya pahala satu qirath. Dan barang siapa yang mengantarkannya hingga dikebumikan (dalam riwayat lain, “hingga selesai”) maka baginya pahala dua qirath. Sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah dua qirath itu?’ Beliau menjawab, ‘Bagaikan dua buah gunung yang sangat besar’ (dalam riwayat lain, ‘Setiap qirath seperti gunung Uhud’).” (HR Bukhari, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnul Jarud, al-Baihaqi, ath-Thaliyi, dan Ahmad)

1 komentar:

Alief Tunggal mengatakan...

Tingkatkan hasil kajiannya

 
back to top