Kajian Ilmu Mati
Image by Cool Text: Logo and Button Generator - Create Your Own Logo Pemberitaan Kematian

Jumat, 11 September 2015

Pemberitaan Kematian

Tidak ada komentar:
PEMBERITAAN KEMATIAN YANG DIPERBOLEHKAN

Diperbolehkan mengumumkan kematian bila tidak diikuti dengan cara-cara yang mirip dengan penyebaran berita yang pernah dilakukan di zaman jahiliah (kebodohan). Pemberitahuan ada kalanya menjadi suatu keharusan bila ternyata tidak ada orang yang melakukan pengurusan jenazah, seperti memandikan, mengafani, dan menyalati mayat.
Dalam hal ini banyak hadis Rasulullah yang dapat dijadikan sandaran, di antaranya.
A. Abu Hurairah r.a. berkata, “Rasulullah mengumumkan kematian an-Najasyi di hari wafatnya seraya keluar ke masjid dan membentuk shaf, kemudian mentakbiri (menyalatinya) dengan empat takbir.” (HR Syaikhain dan lainnya. Rinciannya akan saya sebutkan nanti dengan berbagai tambahannya dan jalur sanadnya, insya Allah.)
B. Anas bin Malik r.a. berkata, Rasulullah bersabda, “Zaid bin Haritsah mengemban panji, lalu ia gugur. Maka diembanlah oleh Ja’far, ia pun gugur. Kemudian diembanlah panji itu oleh Khalid ibnul Walid tanpa ada pengangkatan komandan maka terbukalah pintu keselamatan baginya.” (HR Imam Bukhari)
Mengenai hal ini al-Hafizh Ibnu Hajar berkomentar, “Dijadikannya bab itu, antara lain mengisyaratkan bahwa pemberitaan kematian sesungguhnya tidaklah dilarang secara keseluruhan (mutlak). Penyebaran berita kematian yang dilarang adalah yang biasa dilakukan di zaman jahiliah, berupa menyuruh utusan tertentu untuk menyiarkannya dari pintu ke pintu rumah penduduk termasuk di pasar-pasar…”
Saya (penulis) berpendapat, apabila cara-cara seperti disinggung Ibnu Hajar kita asumsikan sebagai cara-cara jahiliah, maka penyiaran berita lewat mikrofon di atas menara-menara masjid adalah juga bentuk NA’YUN yang disamakan dengan cara-cara jahiliah. Oleh karena itu, saya cantumkan dalam lembaran sebelum ini. Bahkan ada kalanya perbuatan seperti itu diikuti pula dengan perbuatan memungut upah dari pekerjaan menyebarkan berita kematian. Atau ada pula yang memuji-muji sang mayat, padahal ia ketahui sebenarnya tidaklah demikian, atau sebaliknya. Seperti imbauan, “Marilah kita salati si Fulan yang menjadi kebanggaan kita sebagai anu dan anu serta banyak berbuat ini dan itu”, dan sebagainya.
Lebih disukai, bagi penyiar berita kematian, untuk meminta orang-orang yang diberitahukannya agar memohonkan ampunan (beristighfar) bagi si mayat. Ini berdasarkan hadis Abu Qatadah r.a., Rasulullah mengutus para komandan pasukannya dengan berwasiat kepada mereka, “Hendaknya kalian serahkan panji kepemimpinan pasukan kepada Zaid bin Haritsah. Bila Zaid gugur, hendaklah Ja’far bin Abi Thalib yang mengembannya. Dan bila Ja’far gugur pula, maka Abdullah bin Rawahah al-Anshari yang menggantikannya.” Kemudian Ja’far berdiri dan berkata, “Kukorbankan ayah dan ibuku untuk membelamu, wahai Rasulullah, tidaklah aku merasa khawatir ataupun takut engkau angkat Zaid menjadi pemimpin pasukan kami.” Beliau menjawab, “Kalau begitu segeralah berangkat, sesungguhnya engkau tidaklah mengetahui yang manakah yang akan berakibat lebih baik.” Maka mereka pun segera berangkat.
Kemudian, suatu hari Rasulullah menaiki mimbar dan menyeru orang-orang untuk salat berjamaah, beliau bersabda, “Telah kembali kebaikan atau telah jelas kebaikan –Abdurrahman bin Mahdi merasa ragu– maukah kalian aku beri kabar tentang pasukan tentara kalian yang tengah melakukan penyerangan? Mereka telah berangkat dan berhadapan dengan musuh mereka dan Zaid telah gugur sebagai syahid, maka mohonkanlah ampunan (istigfar) baginya dan saksikan ia sebagai syahid. Kemudian panji itu diemban oleh Abdullah bin Rawahah dan ia pun gugur sebagai syahid, maka mohonkanlah ampunan baginya. Selanjutnya panji itu diemban oleh Khalid bin Walid, padahal ia bukan termasuk pemimpin pasukan namun ia berinisiatif sendiri.” Kemudian Rasulullah mengangkat tangannya dan berdoa, “Ya Allah, dialah pedang dari sekian banyak pedang-pedang-Mu, maka tolonglah (menangkanlah) dia.” Sejak saat itulah, Khalid bin Walid dinamakan SAIFULLAH (pedang Allah). Lebih jauh beliau bersabda, “Segeralah berangkat dan bantulah saudara-saudara kalian itu dan janganlah ada seorang pun yang tertinggal.” Maka seketika itu serentak orang-orang pergi untuk membantu pasukan muslimin dengan berjalan kaki dan menunggang kendaraan. (HR Ahmad)
Dalam persoalan ini diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dan lainnya mengenai sabda beliau sallallahu alaihi wa sallam,, “Mohonkanlah ampunan bagi saudara kalian…
TANDA-TANDA HUSNUL KHATIMAH
Sesungguhnya Pembuat Syariat Yang Mahabijaksana telah menemukan tanda-tanda yang dapat diketahui bahwa seseorang memperoleh husnul-khatimah—telah Allah tetapkan yang demikian bagi kita sebagai keutamaan dan anugerah-Nya. Oleh karenanya, seorang mukmin yang pada saat meninggalnya menyandang salah satu dari tanda-tanda tersebut berarti telah dianugerahi satu kabar gembira.
mengucapkan kalimat syahadat ketika wafat. Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang pada akhir kalimatnya mengucapkan ‘Laa ilaaha illallaha’, maka ia dimaukkan ke dalam surga.” (HR Hakim)
ketika wafat dahinya berkeringat. Ini berdasarkan hadis dari Buraidah
ibnul Khasib r.a.. Adalah Buraidah, dahulu ketika di Khurasan, menengok saudaranya yang tengah sakit, namun didapatnya ia telah wafat dan terlihat pada jidatnya berkeringat, kemudian ia berkata, “Allahu Akbar, sungguh aku telah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Matinya seorang mukmin adalah dengan berkeringat dahinya.’”(HR Ahmad, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan ath-Thayalusi dari Abdullah bin Mas’ud)
wafat pada malam atau hari Jumat. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah, “Tidaklah seorang muslim yang wafat pada hari Jumat atau pada malam Jumat kecuali pastilah Allah menghindarkannya dari siksa kubur.” (HR Imam Ahmad)
mati syahid dalam medan perang. Mengenai hal ini Allah berfirman
,
“JANGANLAH KAMU MENGIRA BAHWA ORANG-ORANG YANG GUGUR DI JALAN ALLAH ITU MATI, BAHKAN MEREKA ITU HIDUP DI SISI TUHANNYA DENGAN MENDAPAT REZEKI, MEREKA DALAM KEADAAN GEMBIRA DISEBABKAN KARUNIA ALLAH YANG DIBERIKAN-NYA KEPADA MEREKA, DAN MEREKA BERGIRANG HATI TERHADAP ORANG-ORANG YANG MASIH TINGGAL DI BELAKANG YANG BELUM MENYUSUL MEREKA, BAHWA TIDAK ADA KEKHAWATIRAN TERHADAP MEREKA DAN TIDAK (PULA) MEREKA BERSEDIH HATI. MEREKA BERGIRANG HATI DENGAN NIKMAT DAN KARUNIA YANG BESAR DARI ALLAH, DAN BAHWA ALLAH TIDAK MENYIA-NYIAKAN PAHALA ORANG-ORANG YANG BERIMAN.”(Ali Imran: 169-171)
Adapun hadis-hadis Rasulullah yang berkenaan dengan masalah ini sangat banyak dijumpai, di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Rasulullah bersabda, “Bagi orang yang mati syahid ada enam keistimewaan, yaitu diampuni dosanya sejak mulai pertama darahnya mengucur, melihat tempatnya di dalam surga, dilindungi dari azab kubur dan terjamin keamanannya dari malapetaka besar, merasakan kemanisan iman, dikawinkan dengan bidadari, dan diperkenankan memberi syafaat bagi tujuh puluh orang kerabatnya.” (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)
2. Seorang sahabat Rasulullah bersabda, “Ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, mengapa orang mukmin mengalami fitnah di kuburan mereka kecuali yang mati syahid?’ Beliau menjawab, “Cukuplah ia menghadapi gemerlapnya pedang di atas kepalanya sebagai fitnah.’” (HR an-Nasa’i)
Dapatlah memperoleh mati syahid asalkan permintaannya benar-benar muncul dari lubuk hati dan dengan penuh keikhlasan, kendatipun ia tidak mendapat kesempatan mati syahid dalam peperangan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah, “Barang siapa yang memohon mati syahid kepada Allah dengan sungguh-sungguh, maka Allah akan menyampaikannya derajat para syuhada sekalipun ia mati di atas ranjangnya.” (HR Imam Muslim dan al-Baihaqi)
mati dalam peperangan FI SABILILLAH.
Ada dua hadis Rasulullah,
1. Rasulullah bersabda, “Apa yang kalian kategorikan sebagai orang yang mati syahid di antara kalian?” Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, yang kami anggap sebagai orang yang mati syahid adalah siapa saja yang mati terbunuh di jalan Allah.” Beliau bersabda, “Kalau begitu umatku yang mati syahid sangatlah sedikit.” Para sahabat kembali bertanya, “Kalau begitu siapa sajakah dari mereka yang mati syahid, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Barang siapa yang terbunuh di jalan Allah, yang sedang berjuang di jalan Allah, dan yang mati karena penyakit kolera, yang mati karena penyakit perut, maka dialah syahid, dan orang yang mati tenggelam dialah syahid.” (HR Muslim, Ahmad, dan al-Baihaqi)
2. Rasulullah bersabda, “Siapa saja yang keluar di jalan Allah lalu mati atau terbunuh, maka ia adalah mati syahid. Atau yang dibanting oleh kuda atau untanya lalu mati atau digigit binatang beracun atau mati di atas ranjangnya dengan kematian apa pun yang dikehendaki Allah, maka ia pun syahid dan baginya surga.” (HR Abu Daud, al-Hakim, dan al-Baihaqi)
mati disebabkan penyakit kolera. Di antara hadis yang meriwayatkannya sebagai berikut.
1. Dari Hafshah binti Sirin bahwa Anas bin Malik berkata, “Bagaimana Yahya bin Abi Umrah mati?” Aku jawab, “Karena terserang penyakit kolera.” Ia berkata, “Rasulullah telah bersabda, ‘Penyakit kolera adalah penyebab mati syahid bagi setiap muslim. (HR Imam Bukhari, ath-Thayalusi, dan Ahmad)
2. Aisyah r.a. bertanya kepada Rasulullah tentang penyakit kolera. Beliau menjawab, “Adalah dahulunya penyakiit kolera merupakan azab yang Allah timpakan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, kemudian Dia jadikan sebagai rahmat bagi kaum mukmin. Maka tidaklah seorang hamba yang dilanda wabah kolera lalu ia menetap di kampungnya dengan penuh kesabaran, dan mengetahui bahwa tidak akan menimpanya kecuali apa yang Allah tetapkan baginya pahala orang yang mati syahid. (HR Imam Bukhari, al-Baihaqi, dan Ahmad)
mati karena keracunan (sakit perut).
Abdullah bin Yassar berkata, Aku duduk-duduk bersama Sulaiman bin Shard dan Khalid bin Arfadhah. Keduanya menceritakan tentang seseorang yang wafat karena sakit perut. Keduanya pun kemudian berharap dapat memperoleh mati syahid. Berkatalah yang satu kepada yang lain, “Bukankah Rasulullah pernah bersabda, ‘Siapa saja yang wafat karena penyakit perut maka tak akan mendapat azab kubur.’ Yang lain menjawab, ‘Memang benar.’” (HR an-Nasa’i, at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, ath-Thayalusi, dan Ahmad).
mati karena tenggelam dan tertimpa reruntuhan (tanah longsor).
Rasulullah bersabda,”Para syuhada itu ada lima; orang yang mati karena wabah kolera, karena sakit perut, tenggelam, tertimpa reruntuhan bangunan, dan syahid berperang di jalan Allah.” (HR Imam Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, dan Ahmad)
perempuan yang meninggal karena melahirkan. Ini berdasarkan hadis yang diberitakan dari Ubadah ibnush-Shamit r.a. bahwa Rasulullah menjenguk Abdullah bin Rawahah yang tidak bisa beranjak dari pembaringannya, kemudian beliau bertanya, “Tahukah kalian, siapakah syuhada dari umatku?” Orang-orang yang ada menjawab, “Muslim yang terbunuh.” Beliau bersabda, “Kalau hanya itu para syuhada dari umatku sangat sedikit. Muslim yang mati terbunuh adalah syahid, mati karena penyakit kolera adalah syahid, begitu pula perempuan yang mati ketika bersalin adalah syahid (anaknya akan menariknya dengan tali pusarnya ke dalam surga).” (HR Ahmad, ad-Darimi, dan ath-Thayalusi)
Menurut Imam Ahmad ada periwayatan seperti itu melalui jalur sanad lain di dalam MUSNAD-nya.
mati terbakar dan penyakit busung perut.
Tentang ini banyak sekali riwayat, dan yang termasyhur adalah dari Jabir bin Atik secara marfu’, “Para syuhada ada tujuh; mati terbunuh di jalan Allah, karena penyakit kolera adalah syahid, mati tengelam adalah syahid, karena penyakit busung lapar adalah syahid, karena penyakit perut keracunan adalah syahid, karena terbakar adalah syahid, dan yang mati karena tertimpa reruntuhan (bangunan atau tanah longsor) adalah syahid, serta wanita yang mati pada saat mengandung adalah syahid.” (HR Imam Malik, Abu Daud, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad)
KETIGA BELAS, mati karena penyakit tuberkulosis (TBC). Ini berdasarkan sabda Rasulullah, “Mati di jalan Allah adalah syahid dan perempuan yang mati ketika tengah melahirkan adalah syahid, mati karena terbakar adalah syahid, mati karena tenggelam adalah syahid, mati karena penyakit TBC adalah syahid, dan mati karena penyakit perut adalah syahid.” (HR ath-Thabrani)
mati karena mempertahankan harta dari perampok. Di antara hadisnya sebagai berikut.
1. “Barang siapa yang mati karena mempertahankan hartanya (dalam riwayat lain), ‘Barang siapa menuntut hartanya yang dirampas lalu ia terbunuh’) maka dia adalah syahid.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)
2. Abu Hurairah r.a. berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Nabi seraya bertanya, ‘Ya Rasulullah, beritahukan kepadaku bagaimana bila ada seseorang yang datang dan akan merampas hartaku.’ Beliau menjawab, ‘Jangan engkau berikan.’ Ia bertanya, ‘Bagaimana bila ia membunuhku?’ Beliau menjawab, ‘Engkau mati syahid.’ Orang itu bertanya kembali, ‘Bagaimana bila aku yang membunuhnya?’ Beliau menjawab, ‘Ia masuk neraka.’” (HR Imam Muslim, an-Nasa’i, dan Ahmad)
3. Mukhariq r.a. berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Nabi dan berkata, ‘Ada seorang laki-laki hendak merampas hartaku.’ Beliau bersabda, ‘Ingatkan dia akan Allah.’ Orang itu bertanya, ‘Bila tetap saja tak mau berzikir?’ Beliau menjawab, ‘Mintalah tolong orang di sekitarmu dalam mengatasinya.’ Orang itu bertanya lagi, ‘Bila tidak saya dapati di sekitarku seorang pun?’ Beliau menjawab, ‘Serahkan dan minta tolonglah kepada penguasa.’ Ia bertanya, ‘Bila penguasa itu jauh tempatnya dariku?’ Beliau bersabda, ‘Berkelahiah dalam membela hartamu hingga kau mati dan menjadi syahid, atau untuk mencegah hartamu dirampas.’” (HR an-Nasa’i dah Ahmad)
mati dalam membela agama dan jiwa. Dalam hal ini ada dua riwayat hadis.
1. “Barang siapa mati terbunuh dalam membela hartanya maka ia mati syahid, dan siapa saja yang mati dalam membela keluarganya maka ia mati syahid, dan barang siapa yang mati dalam rangka membela agama (keyakinannya) maka ia mati syahid, dan siapa saja yang mati mempertahankan darah (jiwanya) maka ia syahid.” (HR Abu Daud, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, dan Ahmad)
2. “Barang siapa mati dalam rangka menuntut haknya maka ia akan mati syahid.” (HR. an-Nasa’i)
mati dalam berjaga-jaga (waspada) di jalan Allah. Ada dua hadis.
1. “Berjaga-jaga (waspada) di jalan Allah sehari semalam adalah lebih baik daripada berpuasa selama sebulan dengan mendirikan salat pada malam harinya. Apabila ia mati, maka mengalirkan pahala amalannya yang dahulu dilakukannya dan juga rezekinya serta amalan dari siksa kubur (fitnah kubur).”(HR Imam Muslim, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, al-Hakim, dan Ahmad)
2. “Setiap orang yang meninggal akan disudahi amalannya kecuali orang yang mati dalam berjaga-jaga di jalan Allah; maka amalannya dikembangkan hingga tiba hari kiamat nanti serta terjaga dari fitnah kubur.” (HR Abu Daud, at-Tirmidzi, al-Hakim, dan Ahmad)
orang yang meninggal pada saat mengerjakan amal saleh.
Ini berdasarkan sabda Rasulullah, “Barang siapa mengucapkan ‘Laa ilaaha illallah’ dengan berharap akan keridaan Allah dan di akhir hidupnya mengucapkannya, maka ia akan masuk surga. Dan barang siapa yang bepuasa sehari mengharapkan keridaan Allah kemudian mengakhiri hidupnya dengannya (puasa), maka masuk surga. Dan barang siapa bersedekah mencari rida Allah dan menyudahi hidupnya dengannya (sedekah), maka ia akan masuk surga.” (HR Ahmad)
PUJIAN MANUSIA TERHADAP SANG MAYATPujian kaum muslimin tentang hal-hal yang baik terhadap sang mayat –minimal dua orang– dari tetangganya yang tergolong sebagai orang-orang arif dan berilmu akan memberikan harapan masuk surga.
Anas bin Malik r.a. berkata, “Di hadapan Nabi sallallahu alaihi wa sallam pernah lewat usungan jenazah dan beliau memujinya dengan kebaikan (orang-orang pun kemudian mengikutinya memuji sang mayat). Mereka berkata, ‘Sepengetahuan kami, dia sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya.’ Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Wajib, wajib, wajib.’ Kemudian lewat kembali di hadapan beliau jenazah dan beliau mengecam dengan keburukan (orang-orang pun kemudian mengikuti seraya mengecam dengan keburukan dan mengatakan, ‘Seburuk-buruk orang adalah terhadap agama Allah’). Rasulullah kemudian berucap, ‘Wajib, wajib, wajib.’ Maka Umar bin Khaththab r.a. berkata, ‘Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu. Ketika jenazah lewat di hadapanmu, engkau memujinya dengan kebaikan dan mengatakan, wajib, wajib, wajib. Kemudian lewat kembali usungan jenazah, lalu engkau mengecamnya dengan keburukan dan engkau katakan, wajib, wajib, wajib.’ Rasulullah bersabda menjelaskan, ‘Siapa saja yang kalian puji kebaikannya maka dapat dipastikan ia masuk surga dan siapa saja yang kalian kecam dengan keburukan maka dapat dipastikan ia masuk neraka. (Para malaikat adalah saksi-saksi Allah di langit) sedangkan kalian adalah saksi-saksi Allah di muka bumi, kalian saksi-saksi Allah di muka bumi. (Allah mempunyai malaikat yang dapat berbicara dengan bahasa anak cucu Adam dalam menilai seseorang yang baik dan buruk)’.” Dalam riwayat lain, “Orang-orang mukmin adalah saksi-saksi Allah di muka bumi.” (HR Bukhari, Muslim, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Hakim, ath-Thayalusi, dan Ahmad)
mati dalam berjaga-jaga (waspada) di jalan Allah. Ada dua hadis.
1. “Berjaga-jaga (waspada) di jalan Allah sehari semalam adalah lebih baik daripada berpuasa selama sebulan dengan mendirikan salat pada malam harinya. Apabila ia mati, maka mengalirkan pahala amalannya yang dahulu dilakukannya dan juga rezekinya serta amalan dari siksa kubur (fitnah kubur).”(HR Imam Muslim, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, al-Hakim, dan Ahmad)
2. “Setiap orang yang meninggal akan disudahi amalannya kecuali orang yang mati dalam berjaga-jaga di jalan Allah; maka amalannya dikembangkan hingga tiba hari kiamat nanti serta terjaga dari fitnah kubur.” (HR Abu Daud, at-Tirmidzi, al-Hakim, dan Ahmad)
orang yang meninggal pada saat mengerjakan amal saleh. Ini berdasarkan sabda Rasulullah, “Barang siapa mengucapkan ‘Laa ilaaha illallah’ dengan berharap akan keridaan Allah dan di akhir hidupnya mengucapkannya, maka ia akan masuk surga. Dan barang siapa yang bepuasa sehari mengharapkan keridaan Allah kemudian mengakhiri hidupnya dengannya (puasa), maka masuk surga. Dan barang siapa bersedekah mencari rida Allah dan menyudahi hidupnya dengannya (sedekah), maka ia akan masuk surga.” (HR Ahmad)
PUJIAN MANUSIA TERHADAP SANG MAYATPujian kaum muslimin tentang hal-hal yang baik terhadap sang mayat –minimal dua orang– dari tetangganya yang tergolong sebagai orang-orang arif dan berilmu akan memberikan harapan masuk surga.
1. Anas bin Malik r.a. berkata, “Di hadapan Nabi sallallahu alaihi wa sallam pernah lewat usungan jenazah dan beliau memujinya dengan kebaikan (orang-orang pun kemudian mengikutinya memuji sang mayat). Mereka berkata, ‘Sepengetahuan kami, dia sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya.’ Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Wajib, wajib, wajib.’ Kemudian lewat kembali di hadapan beliau jenazah dan beliau mengecam dengan keburukan (orang-orang pun kemudian mengikuti seraya mengecam dengan keburukan dan mengatakan, ‘Seburuk-buruk orang adalah terhadap agama Allah’). Rasulullah kemudian berucap, ‘Wajib, wajib, wajib.’ Maka Umar bin Khaththab r.a. berkata, ‘Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu. Ketika jenazah lewat di hadapanmu, engkau memujinya dengan kebaikan dan mengatakan, wajib, wajib, wajib. Kemudian lewat kembali usungan jenazah, lalu engkau mengecamnya dengan keburukan dan engkau katakan, wajib, wajib, wajib.’ Rasulullah bersabda menjelaskan, ‘Siapa saja yang kalian puji kebaikannya maka dapat dipastikan ia masuk surga dan siapa saja yang kalian kecam dengan keburukan maka dapat dipastikan ia masuk neraka. (Para malaikat adalah saksi-saksi Allah di langit) sedangkan kalian adalah saksi-saksi Allah di muka bumi, kalian saksi-saksi Allah di muka bumi. (Allah mempunyai malaikat yang dapat berbicara dengan bahasa anak cucu Adam dalam menilai seseorang yang baik dan buruk)’.” Dalam riwayat lain, “Orang-orang mukmin adalah saksi-saksi Allah di muka bumi.” (HR Bukhari, Muslim, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Hakim, ath-Thayalusi, dan Ahmad)
10Al-Baihaqi berkata, “Adalah Aisyah sangat mendambakan untuk dapat memandikan Rasulullah. Dan sangat jelas bahwa mendambakan sesuatu kecuali pada hal-hal yang diperbolehkan dalam syariat.” Menurut saya, pembolehan itu ada dalam Masa’il Imam Ahmad (hlm. 149) dan merupakan pendapatnya seperti diriwayatkan oleh Abu Daud
Orang yang mengurusi proses memandikan mayat hendaklah orang-orang yang paling mengetahui sunnahnya, khususnya dari kalangan kerabat. Hal seperti ini yang dilakukan orang-orang dahulu ketika memandikan Nabi sallallahu alaihi wa sallam. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Aku telah memandikan Rasulullah, lalu aku perhatikan mayat itu seolah aku tidak dapati sesuatu. Adalah beliau sallallahu alaihi wa sallam sangat baik (jasadnya) ketika hidupnya juga saat matinya (HR Ibnu Majah, al-Hakim, al-Baihaqi)
Menurut saya, dalam hal ini pernyataan adz-Dzahabi tidak benar. Sebab hadis ini dari periwayatan Mu’ammar dari az-Zuhri dari Sa’id ibnul Musayyab dari Ali. Persanadan ini adalah menyambung (MUTASIL) lagi sangat masyhur. Sedangkan riwayat Sa’id ibnul Musayyab dari Ali adalah MAUSHUL(tersambung), juga seperti diisyaratkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam AT-TAHDZIB-nya. Bahkan ia mendakwa bahwa Sa’id ibnul Musayyab telah mendengar dari Umar. 11
Selain itu, karena mursal (riwayatnya terputus), asy-Syi’bi menyebutkan bahwa yang memandikan mayat Rasulullah bersama Ali bin Abi Thalib adalah al-Fadhl bin Abbas dan Usamah bin Zaid r.a. (HR Abu Daud)
Menurut saya, mengenai ucapan telah mendengar dari Umar, perlu disidik ulang. Sayang, di sini bukan tempatnya. Sedangkan mendengar dari Ali adalah sahih. Sebab Ali wafat tahun 40 H, dan ketika itu Sa’id berusia dua puluh delapan tahun. Jadi, sanad ini tak mungkin terputus.
1. Bagi orang yang memandikan mayat disediakan pahala yang besar namun dengan
dua syarat yang perlu diperhatikan.
PERTAMA, hendaklah merahasiakan apa yang telah dilihatnya dari sang mayat hal-hal yang mungkin kurang disenangi. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah,
“BARANG SIAPA MEMANDIKAN (MAYAT) MUSLIM DAN MERAHASIAKAN KEBURUKANNYA, MAKA ALLAH MENGAMPUNINYA EMPAT PULUH KALI. DAN BARANG SIAPA MENGGALI (UNTUK) KUBURNYA MAKA BAGINYA PAHALA BAGAIKAN PAHALA MEMBERIKAN TEMPAT BAGINYA HINGGA HARI KIAMAT. DAN BARANG SIAPA MENGAFANINYA, MAKA ALLAH AKAN MEMBERIKAN PAKAIAN BAGINYA DARI SUTRA MURNI SURGA.”(HR al-Hakim)
KEDUA, hendaknya seseorang dalam melakukannya (memandikan mayat) hanya semata-mata mencari rida Allah, tidak mengharapkan balasan apa pun dari segala urusan dunia. Hal ini mengingat ketetapan Allah yang disyariatkan-Nya, bahwa Dia tidak mau menerima segala peribadahan kecuali yang benar-benar murni ditujukan bagi-Nya.
Dalil tentang hal ini sangat banyak banyak baik dari Al-quran maupun As-Sunnah. Di antaranya seperti berikut.
Firman Allah Taala,
“KATAKANLAH, ‘SESUNGGUHNYA AKU INI HANYALAH SESEORANG MANUSIA SEPERTI KAMU, YANG DIWAHYUKAN KEPADAKU, “BAHWA SESUNGGUHNYA TUHAN KAMU ITU ADALAH TUHAN YANG ESA.’ BARANG SIAPA MENGHARAP PERJUMPAAN DENGAN TUHANNYA MAKA HENDAKLAH IA MENGERJAKAN AMAL SALEH DAN JANGANLAH IA MEMPERSEKUTUKAN SEORANG PUN DALAM BERIBADAH KEPADA TUHAN-NYA’.”(al-Kahfi: 110)
Firman Allah Taala,
“PADAHAL MEREKA TIDAK DISURUH KECUALI SUPAYA MENYEMBAH ALLAH DENGAN MEMURNIKAN KETAATAN KEPADA-NYA DALAM (MENJALANKAN) AGAMA DENGAN LURUS….”(al-Bayyinah: 5)
C. Sabda Rasulullah dari Umar bin Khaththab r.a.,
“SESUNGGUHNYA AMAL-AMAL PERBUATAN BERGANTUNG NIATNYA, DAN BAGI SETIAP ORANG APA YANG DINIATKANNYA. BARANG SIAPA HIJRAHNYA KARENA ALLAH DAN RASUL-NYA, MAKA HIJRAHNYA KEPADA ALLAH DAN RASUL-NYA, ATAU UNTUK MENIKAHI WANITA, MAKA HIJRAHNYA ADALAH KEPADA YANG IA HIJRAHI.”(HR Bukhari, Muslim, dan Ashabus-Sunan)
Sabda Rasulullah
“BERITA GEMBIRA BAGI UMAT INI (ISLAM) DENGAN DIANUGERAHI KEMULIAAN DAN KEMANTAPAN DALAM NEGARA, KEMENANGAN SERTA KETINGGIAN DALAM AGAMA. BARANG SIAPA DI ANTARA MEREKA MENGAMALKAN ANALAN AKHIRAT UNTUK MENDAPATKAN KESENANGAN KEDUNIAAN, MAKA BAGINYA TAK ADA KEBERUNTUNGAN DI AKHIRAT NANTI.”(HR Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Hakim)
1. Abu Umamah r.a. berkata,
“ADA SESEORANG DATANG KEPADA NABI DAN BERTANYA, “BERITAHUKANLAH KEPADAKU TENTANG SEORANG YANG BERPERANG DEMI MENCARI PAHALA DAN KESOHORAN NAMANYA, APAKAH PAHALA YANG DIPEROLEHNYA?’ BELIAU MENJAWABNYA, ‘TIDAK ADA PAHALA BAGINYA SEDIKIT PUN’ –SAMBIL MENGULANGNYA TIGA KALI. KEMUDIAN BELIAU BERSABDA, ‘SESUNGGUHNYA, ALLAH TAALA TIDAK AKAN MENERIMA AMALAN (APA PUN) KECUALI YANG MURNI DILAKUKAN HANYA MENCARI RIDA-NYA’.”(HR an-Nasa’i)
1. Sabda Rasulullah, sesungguhnya Allah berfirman,
“AKU TIDAK MEMBUTUHKAN PERSEKUTUAN. BARANG SIAPA MENGERJAKAN SUATU AMALAN YANG MEMPERSEKUTUKAN-KU DENGAN SELAIN-KU MAKA AKU TERBEBAS DARINYA DAN AMALANNYA BAGI YANG DIPERSEKUTUKAN (DENGAN-KU).”(HR Ibnu Majah dan Muslim)
1. Bagi orang yang telah memandikan mayat lebih disukai untuk mandi. Ini berdasarkan sabda Rasulullah, “Barang siapa yang selesai memandikan mayat maka hendaklah ia berwudu.” (HR Abu Daud, at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, ath-Thayalusi, dan Ahmad lewat beberapa jalur sanad yang semuanya dari Abu Hurairah r.a.)
Berdasarkan pemahaman lahiriahnya, perintah dalam hadis tersebut menunjukkan sesuatu yang wajib, tetapi saya tidak menyatakannya demikian. Hal ini karena melihat dua hadis berikut.
PERTAMA, Rasulullah bersabda, “Tidaklah ada keharusan bagi kalian yang memandikan mayat untuk mandi. Sesungguhnya mayat di antara kalian bukanlah najis, tetapi cukuplah bagi kalian mencuci tangan-tangan kalian.” (HR al-Hakim, al-Baihaqi dari Ibnu Abbas r.a.)
KEDUA, Ibnu Umar berkata, “Dahulu, ketika kami memandikan mayat, di antara kami ada yang mandi dan ada pula yang tidak mandi.” (HR ad-Daruquthni dan al-Khathib)
1. Tidaklah disyariatkan memandikan orang yang mati syahid korban perang, sekalipun ada kesepakatan bahwa orang tersebut dalam keadaan junub.’
1. Jabir r.a. berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Kuburkanlah mereka dengan kondisi berdarah’ (para syuhada Perang Uhud) dan mereka pun tidak memandikannya.” Dalam riwayat lain beliau bersabda, “Aku adalah saksi bagi mereka, kafanilah mereka dalam kondisi berdarah. Sesungguhnya, tidaklah seseorang yang luka berdarah (di jalan Allah) kecuali kelak datang di hari kiamat dengan luka darahnya berbau misk (parfum).” (HR Imam Bukhari, Abu Daud, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ahmad)
2. Anas bin Malik r.a. berkata, “Sesungguhnya, para syuhada dalam Perang Uhud tidak ada yang dimandikan dan mereka dikubur dengan lumuran darahnya serta tidak ada yang disalati (kecuali Hamzah).” (HR Abu Daud, al-Hakim, at-Tirmidzi, al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ahmad)
Menurut saya, riwayat ini sesuai penyelidikan saya adalah hasan karena sesuai dengan persyaratan Imam Muslim.
3. Abdullah bin az-Zubair r.a. mengisahkan para syuhada dalam Perang Uhud dan kematian Hanzhalah bin Abi Amir r.a. yang mati syahid, “Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya sahabat kalian ini telah dimandikan malaikat maka tanyakanlah kepada istrinya.’ Istrinya berkata, “Ia keluar rumah untuk berjihad dalam kondisi junub ketika mendengar suara yang mengerikan.’ Beliau kemudian bersabda, ‘Oleh karena itu, ia dimandikan oleh malaikat’.” (HR Ibnu Hibban, al-Hakim, dan al-Baihaqi)
4. Ibnu Abbas r.a. berkata, “Hamzah bin Abdul Muthalib dan Hanzhalah ibnur Rahim terbunuh dalam peperangan, sedang keduanya masih dalam kondisi junub. Lalu Rasulullah bersabda, “Aku telah melihat malaikat memandikan keduanya’.” (HR ath-Thabrani dan al-Hakim)

Tidak ada komentar:

 
back to top