LANJUTAN KETIKA IA MENGATAKAN
“KETIKA USAI PERANG UHUD, SELURUH KORBAN YANG MATI DALAM PEPERANGAN HENDAK DIBAWA UNTUK DIKEBUMIKAN DI BAQI’, TIBA-TIBA TERDENGAR SERUAN YANG DILANTUNKAN OLEH PESURUH RASULULLAH, ‘SESUNGGUHNYA RASULULLAH TELAH MEMERINTAHKAN KALIAN UNTUK MENGEBUMIKAN SELURUH KORBAN PERANG DI TEMPAT MEREKA MATI (UHUD).’ SETELAH IBUKU MEMBAWA DUA MAYAT, AYAHKU DAN PAMANKU, UNTUK DIKEBUMIKAN DI PEKUBURAN BAQI’, KEMUDIAN DIPERINTAHKAN UNTUK DIKEMBALIKAN.” DALAM RIWAYAT LAIN, “KAMI PUN KEMUDIAN MENGEMBALIKAN KEDUA MAYAT ITU UNTUK DIKEBUMIKAN DI TEMPAT KEDUANYA TERBUNUH.”(HR Ashabus Sunan, Ibnu Hibban, Ahmad, dan al-Baihaqi. Tirmidzi menyatakan, “Riwayat ini hasan dan sahih.” Sedangkan tambahannya ada dalam riwayat Imam Ahmad yang akan saya kemukakan nati pada nomor 80.)
Selain itu, ketika Aisyah r.a. mendengar bahwa saudaranya telah wafat di Wadi al-Habasyah yang dipindahkan dari tempat kematiannya, ia pun berkata, “Tidaklah ada yang merisaukan dan menyedihkanku, kecuali saya ingin agar ia dikebumikan di tempat ia wafat.” (HR. al-Baihaqi)
F. Hendaklah sebagian dari mereka menyegerakan untuk melunasi utang-utang si mayat dari harta yang dimilikinya. Apabila si mayat tidak meninggalkan harta atau tidak mampu, hendaklah negara yang menanggungnya bila terbukti sang mayat semasa hidupnya telah berusaha untuk melunasi seluruh utangnya. Kalau pemerintah atau negara tidak juga memperhatikan hal ini, maka diperbolehkan dari sebagian kaum muslimin untuk melunasinya dengan sukarela. Hal ini berdasarkan beberapa hadis sahih berikut.
PERTAMA, hadis yang dikisahkan dari Sa’ad ibnul Athwal r.a., “Saudaraku telah wafat. Ia meninggalkan tiga ratus dirham dan beberapa anak dan aku hendak memberikan harta peninggalan itu kepada anak-anaknya. Rasulullah memberitahuku, ‘Saudaramu terpenjara oleh utang-utangnya, karena itu pergilah engkau untuk melunasinya.’ Aku pun pergi melunasi utang saudaraku dan kembali menemui Rasulullah seraya kukatakan kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, aku telah tunaikan seluruh utang saudaraku dan tak tersisa kecuali dua dinar yang diakui oleh seorang wanita namun ia tidak mempunyai bukti yang cukup.’ Rasulullah menjawab, “Bayarkanlah pada wanita itu karena sesungguhnya ia benar’.” Dalam riwayat lain, “Sesungguhnya ia jujur.” (HR Ibnu Majah, Ahmad, dan al-Baihaqi)
KEDUA, hadis dari Samurah bin Junduub mengatakan bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam telah menyalati jenazah (dalam riwayat lain melakukan salat subuh). Ketika hendak beranjak pergi, beliau bertanya, “Apakah di sini ada salah seorang dari keluarga si Fulan?” (Saat itu, tak satu pun dari orang-orang yang hadir menjawab pertanyaan Rasulullah kendati beliau mengulang-ulang pertanyaan sampai tiga kali). Tiba-tiba berdirilah seorang di antara mereka dan berkata, “Ini dia orangnya…”, lalu berdiri seseorang dengan menyeret sarungnya dari belakang jamaah. Nabi sallallahu alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu diam ketika saya mengulang-ulang pertanyaanku tadi? Sungguh aku tidak menyebut-nyebutkan namamu kecuali untuk kebaikan. Sesungguhnya si Fulan -seorang dari kaumnya- tertawan karena utangnya untuk masuk surga, maka bila kalian menghendaki, biarkan dia untuk disiksa). Aku berharap keluarganya atau orang-orang yang mengurusinya agar bangkit dan membaya utang-utangnya (sehingga tidak ada lagi orang yang menagihnya).” (HR Abu Daud, an-Nasa’i, al-Hakim, al-Baihaqi, ath-Thayalusi, dan Ahmad)
KETIGA, Jabir bin Abdullah r.a., berkata, “Seseorang telah meninggal, lalu kami segera memandikannya, mengafaninya, dan memberinya wewangian, kemudian kami hadirkan jenazah ke tempat Maqam Jibril. Rasulullah mengizinkan kami untuk menyalatinya, lalu beliau mendatanginya bersama kami dengan beberapa langkah dan bersabda, “Barangkali kawan kalian ini masih mempunyai utang?” Orang-orang yang hadir menjawab, “Ya memang ada, dua dinar.” Beliau pun kemudian enggan menyalatinya dan bersabda, “Salatilah oleh kalian teman kalian ini.” Lalu berkatalah salah seorang dari kami bernama Abu Qatadah, “Ya Rasulullah, utangnya menjadi tanggunganku.” Beliau bersabda, “Dua dinar utangnya itu menjadi tanggunganmu dan murni dibayar dari hartamu, sedangkan si mayat terbebas dari utang itu?” Orang itu menjawab, “Ya, benar.” Rasulullah pun kemudian menyalatinya. Setiap kali Rasul bertemu Abu Qatadah, beliau menanyakan. Dalam riwayat lain disebut Rasulullah menjumpainya di kemudian hari seraya menanyakannya, “Apa yang telah kauperbuat dengan dua dinar utangnya?” Dijawab, “Telah aku lunasi, wahai Rasulullah.” Beliau kemudian bersabda, “Kini barulah kulitnya merasa dingin karena bebas dari siksaan.” (HR al-Hakim, al-Baihaqi, ath-Thayalusi, dan Ahmad)
A. Hadis ini memberi pengertian kepada kita bahwa pembayaran utang yang ditanggung Abu Qatadah adalah setelah Rasulullah menyalati sang mayat. Ini adalah muskil. Sebab, ada diriwayatkan lewat periwayatan sahih dari Abu Qatadah sendiri yang memberi tekanan bahwa ia melunasi utang sang mayat -yang menjadi tanggungannya- sebelum salat, seperti yang akan dijelaskan nanti. Bila periwayatan tersebut tidak terulang kejadiannya, maka periwayatan Abu Qatadah lebih sahih. Dalam riwayat Jabir terdapat seorang perawi bernama Abdullah bin Muhammad bin Aqil yang dipermasalahkan kalangan muhaditsin sehingga dinyatakan hasan periwayatannya oleh mereka, bila terbukti tidak adanya perselisihan. Wallahu a’lam.
B. Hadis-hadis tersebut memberi pengertian bahwa seseorang yang telah meninggal dunia akan mendapat faedah dengan terlunasi utang-utangnya sekalipun bukan dari anaknya. Selain itu, dilunasinya utang tersebut menyebabkan terhentinya siksaan yang menimpanya. Hal ini merupakan pengkhususan bagi makna umum redaksi firman Allah Taala berikut.
DAN BAHWASANYA SEORANG MANUSIA TIADA MEMPEROLEH SELAIN APA YANG TELAH DIUSAHAKANNYA.”(an-Najm: 39)
Juga terhadap sabda Rasulullah yang sangat mahsyur diriwayatkan Imam Bukhari, Musliim, dan Ahmad, “Apabila anak cucu Adam meninggal dunia maka terputuslah seluruh amalannya….”
Satu hal yang perlu digarisbawahi dalam hal ini bahwa ada perbedaan antara menanggung pelunasan utang sang mayat dengan bersedekah untuk sang mayat. Melunasi utang mayat lebih khusus ketimbang bersedekah untuknya. Sebagian ulama mencatat adanya ijma tersebut maka itulah kebenaran. Namun bila tidak, maka hadis-hadis sahih yang diriwayatkan berkenaan dengan sedekah itu maksudnya adalah dari anak kepada kedua orangtuanya. Hal demikian dikarenakan anak adalah bagian dari jerih payah kedua orangtuanya, seperti yang ditegaskan dalam nash. Jadi, mengqiyaskan perbuatan orang lain yang dinisbatkan kepada sang mayat tidaklah tepat. Itu adalah qiyasun ma’al fariqi (pengqiyasan yang berbeda atau berlawanan) seperti tampak dengan jelas. Begitu juga tidak dibenarkan bila mengqiyaskan sedekah dengan pelunasan utang, dikarenakan sedekah adalah umum sedangkan pelunasan utang adalah khusus. Barangkali masalah ini perlu penjelasan lebih detail dan rinci pada kesempatan lain.
Jabir bin Abdillah r.a. berkata bahwa ayahnya gugur dalam Perang Uhud dan meninggalkan enam orang putri serta utang 30 gantang atau 1500 kilo kurma dan para pemberi utang menuntut hak-hak mereka. “Maka ketika tiba panen kurma aku mendatangi Rasulullah dan berkata, ‘Ya Rasulullah, engkau telah mengetahui bahwa ayahku telah wafat pada Perang Uhud dan meninggalkan banyak utang dan aku berharap engkau dapat bertemu dengan para pemberi utang itu.’ Beliau bersabda, ‘Pergi dan isilah tiap-tiap bejana dengan kurma sesuai kualitasnya.’ Aku pun melakukan apa yang diperintahkan beliau. Kemudian aku memanggil beliau (dan mendatangi kami keesokan harinya). Ketika mereka memandang kepadanya mereka memujiku saat itu. Ketika beliau melihat apa yang telah mereka kumpulkan, aku menjaga ketiga bejana besar (lalu beliau mendoakan kurma-kurmanya agar diberkahi) seraya beliau duduk di dekatnya dan berkata kepadaku, ‘Panggillah mereka (para penagih utang)’.”
“Mereka tak henti-hentinya menimbang guna pembayaran utang itu hingga akhirnya Allah memenuhi apa yang diamanatkan ayahku. Aku sendiri benar-benar merasa rela dengan apa yang telah Allah penuhi berupa pelaksanaan amanat tersebut sehingga aku tak membawa sisa kurma untuk saudara-saudara perempuanku. Bahkan, demi Allah, aku serahkan semua bejana tersebut sampai terakhir aku lihat bejana yang ada di dekat Rasulullah tak tersisa sebuah pun. (Aku pun terus bersama Rasulullah hingga tiba waktu magrib, seraya kuberitakan dan beliau tertawa). Kemudian beliau berkata kepadaku, ‘Pergi dan datangilah Abu Bakar dan Umar lalu ceritakan kepada keduanya tentang hal ini.’ Kemudian keduanya berkata, ‘Sungguh kamu telah mengetahui apa yang diperbuat Rasulullah dan itu bakal terjadi’.” (HR Imam Bukhari, Abu Daud, ad-Darimi, Ibnu Majah, al-Baihaqi, dan Ahmad)
hadis dari Jabir bin Abdillah r.a.. Suatu ketika Rasulullah berdiri seraya berkhutbah, memuji-Nya, dan memuji siapa yang memang berhak untuk dipuji dan bersabda, ‘Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah maka tak ada kesesatan baginya, dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka tak ada yang dapat memberi-Nya petunjuk. Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah dan sebaik-baik bimbingan adalah petunjuk Muhammad. Sedangkan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah (dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan berkesudahan di neraka).” Apabila Rasulullah mengingatkan tentang hari kiamat, merahlah kedua matanya, meninggikan suaranya dan tampak marahnya seolah-olah bagaikan komandan pasukan. Beliau bersabda, “Baik pagi maupun sore, barang siapa meninggalkan harta maka itu adalah bagi ahli warisnya dan barang siapa meninggalkan anak-anak atau utang maka menjadi tanggunganku dan aku (lebih utama) daripada orang-orang mukmin.” (HR Imam Muslim, Imam Ahmad, Abu Na’im, an-Nasa’i, dan al-Baihaqi)
Aisyah r.a., berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Barang siapa dari umatku berutang dan berusaha untuk membayar utang tersebut, tetapi ia meninggal terlebih dahulu sebelum membayar utangnya itu, maka akulah walinya’.” (HR Imam Ahmad dan Abu Ya’la)
HAL-HAL YANG DIPERBOLEHKAN KETIKA MENINGGALNYA SESEORANG
Bagi siapa saja yang melayat, diperbolehkan membuka tutup wajah si mayat dan menciumnya, bahkan boleh menangisinya selama tiga hari. Hal ini berdasarkan hadis berikut.
A. Jabir bin Abdillah r.a., berkata, “Ketika ayahku gugur dalam perang Uhud, aku membuka penutup wajahnya lalu aku menangis. Para sahabat melarangku, akan tetapi Rasulullah membiarkanku. (Kemudian Nabi menyuruh untuk mengangkatnya). Hal itu telah membuat bibiku Fatimah menangis, lalu beliau bersabda, “Engkau menangis atau tidak menangis sesungguhnya malaikat terus saja menaunginya dengan kedua sayapnya hingga kalian mengangkatnya’.” (HR asy-Syaikhan, an-Nasa’i, al-Baihaqi, dan Imam Ahmad sedangkan tambahannya dari periwayatan Muslim dan an-Nasa’i)
B. Aisyah r.a., berkata, “Abu Baka r.a. tiba dengan menunggang kudanya dari tempat tinggalnya hingga turun dan memasuki masjid. (Dan Umar bin Khaththab sedang sibuk berbicara dengan umat). Abu Bakar tidak ikut menasihati umat, tetapi ia masuk menjumpai Aisyah r.a.. Kemudian ia mengusap para muka Nabi sallallahu alaihi wa sallam yang sedang sekujur tubuhnya ditutupi dengan kain lurik lalu dibuka tutup wajahnya danmenciumnya ( di antara kedua mata beliau) dan menangis, seraya berkata, ‘Ayah dan ibuku kukorbankan untukmu, wahai Nabi Allah. Allah tidak akan menyatukan atas engkau dua kematian. Adapun kematian yang kini engkau alami, maka telah engkau lakukan’.” Dalam riwayat lain, “Sesungguhnya engkau telah mati dengan kematian yang tidak ada kematian sesudahnya.” (HR Imam Bukhari, an-Nasa’i, Ibnu Hibban, & al-Baihaqi)
C. Aisyah r.a., berkata, “Suatu ketika Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam datang menjenguk Utsman bin Mazh’un yang telah wafat. Lalu beliau sallallahu alaihi wa sallam membuka penutup wajahnya dan menciumnya lalu menangis hingga aku lihat air mata beliau membasahi kedua pipinya.” (HR at-Tirmidzi dan al-Baihaqi)
D. Anas r.a. berkata, “Kami datang menjenguk Abu Saif –suami dari wanita yang menyusui Ibrahim (putra Rasulullah)– bersama Rasulullah. Beliau mengangkat Ibrahim dan menciuminya. Kemudian kami masuk melihat Ibrahim dan kedua mata Rasulullah mencucurkan air mata. Abdurrahman bin Auf ketika berkata kepada beliau, ‘Engkau wahai Rasulullah (menangis)?’ Beliau sallallahu alaihi wa sallam menjawab, ‘ Wahai putra Auf, sesungguhnya ini adalah rahmat (kasih sayang) yang kemudian diikuti dengan yang lain, sesungguhnya mata mencucurkan air mata dan hati ini bersedih, kita tidak mengucapkan kecuali pada yang diridai Allah, Rabb kita. Sesungguhnya kita, wahai Ibrahim berpisah denganmu adalah sangat sedih’.” (HR Imam Bukhari, Muslim, dan al-Baihaqi)
E. Abdullah bin Ja’far r.a. berkata, “Rasulullah telah menunda melayat keluagra Ja’far selama tiga hari kemudian beliau mendatangi mereka. Beliau sallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Janganlah kalian menangisi lagi saudaraku ini sesudah hari ini….’” (HR Abu Daud, an-Nasa’i dan Ahmad)
HAL-HAL YANG WAJIB DILAKUKAN KERABAT SANG MAYAT
Diharuskan para kerabat sang mayat, ketika mendengar berita kematian, melakukan dua perkara.
Pertama, bersabar dan rela dengan apa yang telah ditakdirkan oleh Allah. Hal ini berdasarkan firman-Nya,
“DAN SUNGGUH AKAN KAMI BERIKAN COBAAN KEPADAMU DENGAN SEDIKIT KETAKUTAN, KELAPARAN, KEKURANGAN HARTA, JIWA, DAN BUAH-BUAHAN. DAN BERIKANLAH BERITA GEMBIRA KEPADA ORANG-ORANG YANG SABAR, (YAITU) ORANG-ORANG YANG APABILA DITIMPA MUSIBAH MEREKA MENGUCAPKAN ‘INNAA LILLAAHI WA INNAA ILAIHI RAAJI’UN.’ MEREKA ITULAH YANG MENDAPATKAN KEBERKAHAN YANG SEMPURNA DAN RAHMAT DARI TUHAN MEREKA DAN MEREKA ITULAH ORANG-ORANG YANG MENDAPAT PETUNJUK.”(al-Baqarah: 155-157)
Juga berdasarkan hadis dari Anas r.a., ia berkata,
“SUATU KETIKA RASULULLAH SALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM MENUMPAI SEORANG WANITA TENGAH BERADA DI KUBURAN SAMBIL MENANGIS, LALU BELIAU BERKATA KEPADANYA, ‘BERTAKWALAH KEPADA ALLAH DAN BERSABARLAH ENGKAU’. WANITA ITU MENJAWAB, ‘DIAM, DAN BIARKANLAH AKU BEGINI, KARENA ENGKAU TIDAK TERKENA MUSIBAH SEPERTI MUSIBAH YANG MENIMPAKKU’.” ANAS BERKATA, “WANITA TERSEBU TIDAK MENGETAHUI SIAPA YANG MENEGURNYA. LALU DIBERITAKAN KEPADA WANITA ITU BAHWA YANG MENEGURNYA TADI ADALAH RASULULLAH. KEMUDIAN IA KATAKAN KEPADA RASULULLAH, ‘WAHAI RASULULLAH, SESUNGGUHNYA AKU TIDAK MENGETAHUI YANG MENEGURKU TADI ADALAH ENGKAU.’ RASULULLAH MENJAWAB DENGAN SABDANYA, ‘SESUNGGUHNYA SABAR ITU ADA PADA BENTURAN PERTAMA’.”(HR Imam Bukhari, Muslim, dan al-Baihaqi)
Selain itu, bersabar ketika mendapat ujian karena kematian anak adalah berpahala besar, seperti dijelaskan dalam banyak hadis.
1. Rasulullah bersabda, ‘Tidaklah dua orang muslim (suami-istri) yang ditimpa kematian tiga orang anaknya akan terjilat api neraka sedikit atau banyak, kecuali sebatas pembayaran dengan sumpah.”(HR Syaikhain, al-Baihaqi, dan Abu Hurairah)
2. Rasulullah bersabda, “Tidaklah dua orang muslim (suami-istri) yang ditimpa kematian tiga orang anaknya yang belum balig (dewasa) kecuali Allah memasukkan keduanya ke dalam surga-Nya dengan keutamaan dan rahmat-Nya.” Lebih lanjut beliau bersabda, “Dan neraka berada di depan pintu dari pintu-pintu surga, kemudian dikatakan kepada mereka. ‘Masuklah kalian ke dalam surga.’ Mereka menjawab, ‘Kami akan masuk surga hingga kedua orang tua kami datang.’ Lalu dikatakan kepada mereka, ‘Masuklah kalian ke dalam surga bersama bapak dan ibu kalian dengan keutamaan Allah dan rahmat-Nya’.” (HR an-Nasa’i dan al-Baihaqi)
3. Rasulullah bersabda, “Wanita mana saja yang ditimpa kematian tiga anaknya menjadikannya sebagai tabir penghalang baginya masuk ke dalam neraka. Seorang wanita bertanya, ‘Bagaimana bila dua anak?’ Beliau menjawab, “
4. Rasulullah bersabda, “Allah Taala tidak rela seorang mukmin yang ditinggal dua anak kekasih pilihannya lalu bersabar dan berharap akan pahala, kecuali Allah akan berikan balasan surga.” (HR an-Nasa’i dari Abdullah bin Amr)
diharuskan bagi kerabat sang mayat mengucapkan istirja’ (melafalkan ucapan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) seperti dijelaskan dalam firman Allah di atas dan menambahkannya dengan doa, “Ya Allah, anugerahkanlah pahala atas kesabaranku dalam menghadapi musibah dan berikanlah aku pengganti yang lebih baik darinya.” Seperti hadis dari Ummu Salamah r.a. ketika berkata, “Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah bersabda, “Tidaklah seorang muslim yang tertimpa musibah kemudian ia mengucapkan seperti yang diperintahkan Allah Taala (Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un), ‘Ya Allah berilah aku pahala dalam musibahku dan berilah aku pengganti yang lebih baik’, kecuali Allah akan mengganti baginya yang lebih baik’.” Ummu Salamah berkata, “Ketika Abu Salamah meninggal (yakni suaminya) aku berkata kepada diriku, ‘Siapakah dari kaum muslimin yang lebih baik dari Abu Salamah?’ Dialah keluarga yang pertama hijrah kepada Rasulullah dan aku pun telah mengucapkannya, kemucian Allah Taala memberiku ganti (seorang suami) yaitu Rasulullah.” Lebih jauh Ummu Salamah berkata, “Rasulullah menyuruh Hathib bin Abi Balta’ah meminangku untuk beliau sallallahu alaihi wa sallam, lalu aku katakan kepadanya, ‘Sesungguhnya aku mempunyai seorang anak perempuan dan aku seorang yang pencemburu.’ Rasulullah bersabda, ‘Mengenai anak perempuannya, kami akan berdoa semoga dapat mencukupinya dan aku akan berdoa semoga Allah menghilangkan sifat kecemburuannya’.” (HR Imam Muslim, al-Baihaqi dan Ahmad)
1. Tidaklah bertentangan dengan sikap sabar bila seorang wanita menolak berhias (berdandan) sama sekali karena belasungkawa atas kematian putranya atau siapa saja, bila tidak melebihi tiga hari lamanya, kecuali atas kematian suaminya, maka ia boleh berbelasungkawa dengan tidak berhias diri selama empat bulah sepuluh hari. Hal ini berdasarkan hadis dari Zainab binti Abi Salamah r.a., “Suatu ketika aku datang menemui Ummu Habibah, istri Nabi sallallahu alaihi wa sallam, ia berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Tidaklah dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan belasungkawa dengan tidak berhias lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya yaitu selama empat bulan sepuluh hari’.” (HR Imam Bukhari)
HAL-HAL YANG HARAM DILAKUKAN PARA KERABAT
1. Sesungguhnya, Rasulullah telah mengharamkan banyak sikap dalam menghadapi kematian atau dalam berbelasungkawa, namun masih saja sering dilakukan oleh kaum muslimin. Hal ini perlu diketahui untuk dihindari.
A. Meratapi mayat. Dalam hal ini banyak sekali hadis Rasulullah yang sahih menjelaskannya.
1. “Empat macam kebiasaan jahiliah yang masih dilakukan umatku dan tidak juga ditinggalkannya, yaitu berbangga-bangga dengan keturunan, mengingkari keturunan, minta turun hujan dengan ramalan bintang dan meratap.” Lebih jauh Rasulullah bersabda, “Dan bagi perempuan yang meratap, apabila tidak bertobat sebelum wafat maka di hari kiamat kelak ia akan memakai gamis dari pelangkin dan baju besi.” (HR Imam Muslim, al-Baihaqi, dan Abu Malik al-Asy’ari)
2. Rasulullah bersabda, “Dua hal yang ada pada manusia dan keduanya menyebabkan mereka kafir: mengingkari keturunan dan meratapi kematian.” (HR Muslim, al-Baihaqi, dan lainnya dari Abu Hurairah r.a.)
3. Ketika Ibrahim putra Rasulullah wafat, berteriaklah Usamah bin Zaid, maka Rasulullah menegurnya, “Yang demikian bukan dari ajaranku. Tidaklah orang yang beteriak dibenarkan dalam agama. Hati ini sedih dan kedua mata menangis, tetapi tidak menjadikan Allah murka.” (HR Ibnu Hibban, al-Hakim dari Abu Hurairah r.a.)
4. Ummu Athiyah r.a. berkata, “Rasulullah membaiat kami (kaum wanita) untuk tidak meratap. Namun di antara kami (yang dibaiat) tidak ada yang menepati janjinya kecuali lima orang, yaitu Ummu Sulaim, Ummu Alaa’, putri Abi Sabrah, istri Mu’adz atau putri Abi Sabrah, dan istri Mu’adz r.a.” (HR Bukhari, Muslim, dan al-Baihaqi)
5. Anas bin Malik r.a. berkata, “Ketika Umar bin Khathtahab r.a. tertikam, Hafshah (putrinya) menangisinya dengan suara keras. Berkatalah Umar kepadanya, ‘Wahai Hafshah, tidaklah engkau mendengar Rasulullah telah bersabda, ‘Orang yang diratapi itu disiksa!’ Dan Suhaib pun meratapi pula sambil berkata, ‘Wahai saudaraku, wahai sahabatku.’ Umar pun kemudian berkata kepadanya, “Wahai Suhaib, tidaklah engkau mendengar Rasulullah telah bersabda, ‘Sesungguhnya sang mayat disiksa dengan sebagian ratapan keluarganya”), (dan dalam riwayat lain, “Disiksa di dalam kuburnya karena ratapan kepadanya.”) (HR Bukhari, Muslim, al-Baihaqi, dan Ahmad)
6. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya sang mayat disiksa karena ratapan keluarga kepadanya.” (Dalam riwayat lain disebutkan, “Sang mayat disiksa di dalam kuburnya dikarenakan ratapan keluarganya.” (HR Syaikhan dan Ahmad dari Ibnu Umar)
7. Rasulullah bersabda, “Siapa saja yang diratapi akan disiksa dengan ratapan itu (pada hari kiamat nanti).7” (HR Bukhari, Muslim, al-Baihaqi, dan Ahmad)
Dalam hadis Umar kedua, yang disebutkan dengan lafal “sebagian ratapan”.
Kemudian zahir hadis ini menampakkan kemuskilan karena secara lahiriah berbenturan dengan kaidah syar’iyah yang telah baku dan menjadi ketetapan. Di antaranya dengan firman-Nya, “WALAA TAZIRUU WAAZIRATUW WIZRA UKHRAA” (al-An’am: 164; al-Isra’: 15; Fathir: 18; dan az-Zumar: 7). Dalam masalah ini ulama berbeda pendapat hingga terbagi menjadi delapan kelompok. Namun ada dua yang dekat dengan kebenaran.
PERTAMA, yang dipahami jumhur ulama dalam hal ini mereka mengatakan bahwa apa yang dimaksud hadis-hadis tersebut adalah terhadap mereka yang mewasiatkan untuk diratapi bila ia mati nanti. Atau tidak mewasiatkan untuk tidak diratapi, sedangkan ia mengetahui kebanyakan manusia mengamalkannya seperti adanya. Oleh karenanya, Abdullah al-Mubarak mengatakan, “Apabila ia pernah melarang semasa hidupnya, kemudian mereka tetap saja melakukannya maka ia tidak terancam hukuman apa pun.” (Lihat UMDATUL-QARI’ IV/79)
KEDUA, makna azab dalam hadis-hadis tersebut adalah merasakan kepedihan dan kesakitan dikarenakan sedih mendengar ratapan kepiluan dan kesedihan hati mereka (kerabatnya) yang menangisi. Dan hal itu hanya terjadi di alam barzah, bukan di akhirat nanti. Ath-Thabari cenderung pada pendapat ini, yang juga diikuti Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim dan lainnya. Mereka mengatakan, “Yang dimaksud di dalam hadis-hadis itu bukanlah Allah Taala akan mengazab sang mayat disebabkan ratapan keluarganya kepadanya. Dalam hal ini kata azab lebih umum daripada ‘IQAAB, seperti yang dimaksudkan dalam sabda beliau yang lain “ASSAFARU QITH’ATUN MINAL-‘ADZAAB” (bepergian adalah sebagian dari kesengsaraan). Jadi, yang dimaksudkan di sini bukanlah ‘IQAAB atau hukuman akibat dari suatu dosa yang dilakukan. Namun maknanya adalah azab atau kesengsaraan atau ketidaknyamanan. (Lihat MAJMU’ATUR-RASAA’ILIL-MUNIRIYYAH, II/209 dan Ibnul Qayyim di dalam AT-TAHDZIB IV/290-293).
Adapun yang menguatkan pendapat kedua ini adalah hadis-hadis yang tercantum dalam nomor 5 dan 6 yang dalam redaksinya disebutkan dengan jelas bahwa azab tersebut di dalam kubur. Saya sendiri beberapa waktu lamanya pernah berpendapat demikian, tetapi setelah saya jumpai dalil yang bertentangan dengannya saya cenderung menguatkan pendapat kedua adalah dha’if disebabkan bertentangan dengan hadis sahih yang saya cantumkan dalam nomor urut ke-7 yang dengan tegas menyatakan bahwa azab tersebut kelak di hari kiamat. Kenyataan demikian menegaskan pula ketidakmungkinan menakwilkannya dengan penakwilan seperti yang dikemukakan oleh kelompok kedua (Thabari dkk.).
Oleh karena itu, menurut saya yang rajih adalah pendapat jumhur. Kemudian tidaklah bertentangan dengan apa yang dipahami oleh jumhur dengan hadis-hadis yang menyebutkan bahwa azab tersebut di alam akhirat nanti. Dari dari penyatuan tersebut menjadilah maknanya bahwa sang mayat akan tersiksa di alam kuburnya dan kelak pula di hari kiamat. Dengan demikian, tidak lagi ada kemuskilan, insya Allah.
Cukup banyak hadis yang berkaitan dengan persoalan ini dan insya Allah akan saya sebutkan pada kesempatan lain.
B. Memukul-mukul pipi dan merobek-robek baju. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah, “Bukanlah dari golongan kami siapa-siapa yang memukul-memukul pipi (ketika ditimpa kematian), orang-orang yang suka merobek-robek pakaiannya dan yang mengeluh serta meratapi seperti kebiasaan jahiliah.” (HR Bukhari, Muslim, Ibnu Jarud, al-Baihaqi dan lainnya dari Abdullah Ibnu Mas’ud r.a.)
C.Mencukur rambut kepala. Hal ini berdasarkan hadis dari Abu Burdah bin Abi Musa. Ia berkata, “Abu Musa al-Asy’ari jatuh sakit hingga tak sadarkan diri sementara kepalanya berada di pangkuan istrinya. Lalu berteriaklah istrinya hingga tak dapat mengendalikand dirinya. Ketika Abu Musa siuman, ia berkata, ‘Sungguh aku terbebas dari orang yang Rasulullah telah terbebas darinya. Sesungguhnya Rasulullah terbebas dari kebiasaan wanita yang berteriak-teriak ketika tertimpa musibah dan wanita yang biasa mencukur rambutnya serta merobek-robek bajunya’.” (HR Bukhari, Muslim, an-Nasa’i, dan al-Baihaqi)
D.Menguraikan rambut. Hadis ini dari seorang wanita yang pernah ikut berbaiat kepada Rasulullah dia berkata, “Apa yang dibaiatkan Rasulullah kepada kami dalam berbuat kebaikan di antaranya agar kami tidak melanggar larangan beliau dan tidak menato waah, tidak menjerit-jerit dengan berucap celaka… celaka… serta tidak pula merobek-robek baju dan tidak menggunduli rambut.” (HR Abu Daud dan al-Baihaqi)
E. Membiarkan rambut lebat (brewok), hal ini biasa dilakukan sebagian laki-laki selama masa berkabung dan sesudah itu barulah ia kembali mencukurnya.
Boleh jadi dalam hal ini ada kesamaan dengan kebiasaan yang dilakukan wanita di zaman jahiliah berupa menguraikan rambutnya pada masa berkabung. Padahal amalan seperti ini merupakan perbuatan bid’ah. Rasulullah telah bersabda, “Setiap yang diada-adakan adalah sesat dan setiap yang sesat neraka kesudahannya.” (HR an-Nasa’i dan al-Baihaqi)
F. Menyiarkan berita kematian melalui pengeras suara dan semisalnya. Sebab, cara menyiarkan seperti ini termasuk menyebarluaskan berita. Hudzaifah Ibnul Yaman r.a. berkata, “Apabila ia mengetahui ada berita kematian ia mengatakan, ‘Janganlah berazan (mengumandangkan) berita itu karena sesungguhnya aku khawatir yang demikian termasuk dari menyerukan berita kematian. Aku mendengar beliau sallallahu alaihi wa sallam telah melarangnya.’” (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan al-Baihaqi)
Sementara itu, makna AN-NA’YU secara bahasa bermakna ‘penyiaran berita kematian’. Dengan demikian berarti mencakup pemberitaan kematian secara umum. Meskipun begitu, telah terbukti kesahihan beberapa hadis yang membolehkan salah satu cara pemberitaan kematian. Dalam hal ini para ulama telah membatasi kemutlakan larangan tersebut dengan hadis ini, seperti pendapat berikut, “Sesungguhnya yang dimaksud dengan an-na’yu adalah penyebaran berita yang menyerupai kebiasaan yang pernah ada di zaman jahiliah, yakni berupa teriakan di depan pintu rumah penduduk dan di pasar-pasar, seperti akan dijelaskan nanti.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar