LANJUTAN HR MUSLIM
Dalam hadis yang diriwayatkan al-Hakim, Ibnu Majah, dan Ahmad, Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang meninggal sedang dia masih berutang, maka di sana tidak lagi berlaku dinar ataupun dirham, tetapi yang ada adalah kebaikan dan keburukan.”
Diriwayatkan ath-Thabrani dalam al-Kabir sebagai berikut. “Utang itu ada dua macam. Barang siapa yang mati sedang ia berniat membayarnya, maka akulah sebagai walinya. Sedangkan siapa yang mati tetapi ia tidak berniat membayarnya, maka yang akan diambil dari semua kebaikannya, di mana pada saat itu tak ada dinar ataupun dirham.”
Jabir bin Abdillah berkata, “Pada suatu malam menjelang terjadinya Perang Uhud, ayah memanggilku seraya berkata, ‘Tidaklah aku melihat diriku kecuali sebagai orang yang pertama mati terbunuh dari para sahabat Rasulullah dan aku tidak meninggalkan sesudahku yang lebih mulia kau bagiku kecuali Rasulullah. Aku meninggalkan utang maka bayarkanlah dan saling berpesanlah dengan kebaikan bersama saudaramu.’ Maka keesokan harinya, ternyata dialah orang pertama yang mati terbunuh…” (HR Imam Bukhari)
1. Hendaklah menyegerakan untuk berwasiat sebagaimana sabda Rasulullah,
“TIDAKLAH BAGI SESEORANG ITU HAK UNTUK MENUNDA LEBIH DARI DUA MALAM SEDANG IA MEMPUNYAI SESUATU YANG INGIN DIWASIATKANNYA, KECUALI WASIAT TERTULIS (TERLETAK) DI SAMPING KEPALANYA.” IBNU UMAR BERKATA, “TIDAKLAH SETIAP MALAM BERLALU SEJAK AKU MENDENGAR SABDA RASULULLAH SALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM TERSEBUT KECUALI AKU TELAH SIAPAKAN WASIATKU.”(HR Bukhari, Muslim, dan Ashabus Sunan)
1. Wajib baginya berwasiat untuk para kerabat yang tidak mewarisinya, berdasarkan firman Allah Taala,
“DIWAJIBKAN ATAS KAMU BILA SEORANG DI ANTARA KAMU KEDATANGAN (TANDA-TANDA) MAUT, JIKA IA MENINGGALKAN HARTA YANG BANYAK, BERWASIAT UNTUK IBU-BAPAK DAN KARIB KERABATNYA SECARA MAKRUF/DENGAN CARA YANG BAIK, (SEBAGAI) KEWAJIBAN BAGI ORANG-ORANG YANG BERTAKWA.”(al-Baqarah: 180)
1. Ia berhak berwasiat dengan sepertiga hartanya dan tidak boleh lebih dari itu. Bahkan lebih afdal kurang dari sepertiga berdasarkan hadis Sa’ad bin Abi Waqqash r.a., “Aku bersama Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam ketika melakukan haji wada’ dan aku menderita sakit yang nyaris mengantarkanku pada kematian. Rasulullah menjengukku dan aku katakan kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, aku ini dianugerahi Allah harta dan tak ada pewaris kecuali seorang anak putri. Apakah aku boleh berwasiat dua per tiga dari hartaku?’ Beliau menjawab, ‘Tidak.’ Aku bertanya lagi, ‘Bagaimana dengan setengahnya?’ Beliau menjawab, ‘Juga tidak.’ ‘Dan bagaimana bila sepertiga hartaku?’ Beliau menjawab, ‘Ya sepertiga saja, dan sepertiga adalah banyak. Sesungguhnya wahai Sa’ad, bila engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya adalah lebih baik ketimbang engkau meninggalkan mereka dalam kondisi kemiskinan hingga meminta-minta kepada orang-orang.’ Kemudian beliau bersabda dengan menunjuk tangannya, ‘Sesungguhnya engkau Sa’ad, engkau tidak menafkahkan sesuatu dengan mengharapkan keridaan Allah Taala kecuali engkau diganjar pahalanya meskipun makanan yang engkau suapkan ke mulut istrimu.’ Sa’ad berkata, ‘Lebih dari sepertiga diperbolehkan.’ ” (HR Imam Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Ibnu Abbas berkata, “Aku berharap kalau saja manusia dapat mengekang dari bersedekah sepertiga menjadi seperempat ketika berwasiat. Sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam telah menyatakan bahwa sepertiga adalah banyak.”
1. Hendaklah seseorang ketika berwasiat disaksikan oleh dua orang muslim yang adil (dapat dipercaya). Bila tidak maka dua orang dari nonmuslim yang terpercaya, seperti yang ditegaskan Allah Taala dalam Al-Quran,
“HAI ORANG-ORANG YANG BERIMAN, APABILA SALAH SEORANG DARI KAMU MENGHADAPI KEMATIAN SEDANG DIA AKAN BERWASIAT, MAKA HENDAKLAH (WASIAT ITU) DISAKSIKAN OLEH DUA ORANG YANG ADIL DI ANTARA KAMU, ATAU DUA ORANG YANG BERLAINAN AGAMA DENGAN KAMU, JIKA KAMU DALAM PERJALANAN DI MUKA BUMI LALU KAMU DITIMPA BAHAYA KEMATIAN. KAMU TAHAN KEDUA SAKSI ITU SESUDAH SEMBAHYANG (UNTUK BERSUMPAH), LALU MEREKA KEDUANYA BERSUMPAH ATAS NAMA ALLAH JIKA KAMU RAGU-RAGU. (DEMI ALLAH) KAMI TIDAK AKAN MENUKAR SUMPAH INI DENGAN HARGA YANG SEDIKIT (UNTUK KEPENTINGAN SESEORANG) WALAUPUN DIA KARIB KERABAT DAN TIDAK (PULA) KAMI MENYEMBUNYIKAN PERSAKSIAN ALLAH; SESUNGGUHNYA KAMI KALAU DEMIKIAN TENTULAH TERMASUK ORANG-ORANG YANG BERDOSA. JIKA DIKETAHUI BAHWA KEDUA (SAKSI ITU) MEMPERBUAT DOSA, MAKA DUA ORANG LAIN DI ANTARA AHLI WARIS YANG LEBIH BERHAK YANG LEBIH DEKAT KEPADA ORANG YANG MENINGGAL (MEMAJUKAN TUNTUTAN) UNTUK MENGGANTIKANNYA, LALU KEDUANYA BERSUMPAH ATAS NAMA ALLAH, ‘SESUNGGUHNYA PERSAKSIAN KAMI LEBIH LAYAK DITERIMA DARIPADA KESAKSIAN KEDUA SAKSI ITU, DAN KAMI TIDAK AKAN MELANGGAR BATAS, SESUNGGUHNYA KAMI KALAU DEMIKIAN, TENTULAH TERMASUK ORANG-ORANG YANG MENGANIAYA DIRI SENDIRI. ITU LEBIH DEKAT (UNTUK MENJADIKAN PARA SAKSI) MENGEMUKAKAN PERSAKSIANNYA MENURUT APA YANG SEBENARNYA DAN (LEBIH DEKAT UNTUK MENJADIKAN MEREKA) SESUDAH MEREKA BERSUMPAH. DAN BERTAKWALAH KEPADA ALLAH DAN DENGARKANLAH (PERINTAH-NYA) ALLAH TIDAK MEMBERI PETUNJUK KEPADA ORANG-ORANG YANG FASIK.”(al-Maidah: 106-108)
1. Adapun memberikan wasiat kepada kedua orang tua dan kerabat yang menjadi ahli waris tidaklah diperbolehkan. Sebab hal ini telah dimansukh-kan oleh ayat-ayat waris, dan telah ditegaskan oleh Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam dengan rinci, seperti yang dikemukakan beliau ketika dalam khutbah Wada’, “Sesungguhnya Allah Taala telah memberikan kepada setiap pemilik hak akan haknya, maka tidak ada (hak) bagi ahli waris mendapatkan wasiat.”(HR Abu Daud, Tirmidzi, dan al-Baihaqi)
Dalam hal ini yang memansukh (membatalkan) adalah Al-Quran, sedangkan, hadis Nabi hanyalah sebagai penjelas seperti yang tampak pada Khutbah Wada’, kebalikan dari apa yang diduga kebanyakan orang bahwa yang me-mansukh adalah hadis. Selain itu, di kalangan orang sekarang ada yang mencoba menabur keraguan seraya mendebat bahwa hadis itu adalah riwayat ahad yang tidak ada kekuatan untuk memansukh Al-Quran. Dakwaan tersebut memang batil sebab yang sebenarnya adalah bahwa hadis ahad dapat pula memansukh Al-Quran dengan ketentuan bahwa hadis tersebut mutawatir. Inilah pemahaman yang diterima jumhur ulama. Namun dalam masalah ini yang memansukh adalah Al-Quran bukan As-Sunnah. Lihat, IRWA’UL-GHALIL (hadis nomor 16).
1. Diharamkan bagi seseorang mewasiatkan sesuatu yang berdampak negatif atau membuat mudarat, seperti mewasiatkan untuk tidak memberikan hak waris kepada salah seorang ahli waris, atau mewasiatkan untuk mengutamakan salah seorang ahli waris dari yang lainnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Taala yang ditegaskan-Nya dalam surat An-Nisa ayat 7-12.
Juga berdasarkan sabda Rasulullah,
“JANGANLAH DI ANTARA KALIAN MENIMPAKAN MUDARAT KEPADA YANG LAIN. BARANG SIAPA MENIMPAKAN MUDARAT KEPADA ORANG LAIN, MAKA ALLAH AKAN MENIMPAKAN MUDARAT KEPADANYA, DAN BARANG SIAPA YANG MEMUSUHI (SESEORANG) MAKA ALLAH AKAN MEMUSUHINYA.” (HR ad-Daruquthni. Al-Hakim mengatakan, “Riwayat ini sahih sesuai dengan persyaratan Imam Muslim. Kemudian disetujui oleh adz-Dzahabi. Dinilai hasan sanadnya oleh Imam Nawawi dalam hadis Arba’in-nya. Demikian juga Ibnu Taimiyah dalam al-Fatawa, mengingat banyaknya saksi penguat dan sanadnya yang beraneka ragam. Ibnu Rajab pun telah menyebutkannya demikian dalam mensyarah hadis Arba’in. Saya sendiri mengeluarkannya dalam Irwaa’ul-Ghalil.)
1. Wasiat yang ada unsur kezalimannya adalah batil dan tertolak berdasarkan sabda Rasulullah,
“SIAPA SAJA YANG MENGADA-ADA DALAM PERKARA (AJARAN)-KU, YANG TIDAK TERMASUK DARINYA, MAKA ITU TERTOLAK.”(HR asy Syaikhan dalam Shahih-nya, dan Imam Ahmad, dll.)
Hal ini juga berdasarkan hadis yang dikisahkan oleh Imran bin Husain bahwa seseorang telah memerdekakan enam orang budak laki-lakinya di saat ia mendekati kematiannya. Kemudian ahli warisnya dari pedalaman mendatangi Rasulullah memberitahukan kepada beliau apa yang telah dilakukan orang itu. Rasulullah bertanya, “Apakah ia melakukan yang demikian? Kalau aku mengetahui -sejak awalnya- maka aku tidak akan menyalatinya.” Imran berkata, “Kemudian Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam mengemudi di antara keenam budak itu dan memilih dua orang untuk dimerdekakan dan mengembalikan empat budak yang lain untuk dimiliki ahli warisnya.” (HR Imam Ahmad, Imam Muslim, ath-Thahawi, dan al-Baihaqi)
1. Mengingat kebanyakan orang, khususnya pada masa sekarang, melakukan berbagai bid’ah dalam ajaran agama, terlebih dalam masalah jenazah, maka sudah merupakan keharusan seorang muslim untuk mewasiatkan kelak mayatnya diurus dan dikebumikan sesuai dengan ajaran Rasulullah, sesuai firman-Nya:
“HAI ORANG-ORANG YANG BERIMAN, PELIHARALAH DIRIMU DAN KELUARGAMU DARI API NERAKA YANG BAHAN BAKARNYA ADALAH MANUSIA DAN BATU, PENJAGANYA MALAIKAT-MALAIKAT YANG KASAR; YANG KERAS; YANG TIDAK MENDURHAKAI ALLAH TERHADAP APA YANG DIPERINTAHKAN-NYA KEPADA MEREKA DAN SELALU MENGERJAKAN APA YANG DIPERINTAHKAN.”(at-Tahrim: 6)
Oleh karena itu, para sahabat Rasulullah pada saat menghadapi kematian mewasiatkan kepada keluarganya agar dikebumikan dan diurus jenazah sesuai dengan sunnah Rasulullah. Contoh konkret tentang ini banyak kita jumpai dalam riwayat-riwayat seperti berikut.
a. Abu Burdah berkata, “Abu Musa r.a. telah berwasiat menjelang wafatnya, “Bila kalian membawa jenazahku nanti maka percepatlah jalan kalian, dan janganlah ada yang mengiringi jenazahku dengan membawa setanggi. Jangan pula kalian membuat batas di dalam liang lahatku nanti antara jasadku dengan tanah dan jangan ada yang membangun di atas kuburku nanti. Dan aku bersaksi bahwa aku bebas dari ratapan yang berupa mencukur rambutnya atau yang memukul-mukul pipinya, atau yang merobek-robek pakaiannya.’ Dikatakan kepadanya, ‘Apakah engkau pernah mendengar sesuatu?’ Abu Musa menjawab, ‘Ya benar, aku telah mendengarnya dari Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam.’ ” (HR Imam Ahmad, al-Baihaqi, dan Ibnu Majah)
b. Dari Hudzaifah r.a. berkata, “Apabila aku mati nanti, janganlah ada seorang di antara kalian yang melakukan sesuatu terhadapku karena aku takut kalau itu ratapan dan aku mendengar Rasulullah melarang meratapi mayat.” (HR Imam Tirmidzi. Telah diriwayatkan juga oleh perawi sanad lain, yang akan dikemukakan nanti dalam masalah ke-47).
Imam Nawawi dalam karyanya AL-ADZKAAR berkata, “Adalah disukai secara muakkad (pasti) seseorang sebelum wafatnya mewasiatkan supaya meninggalkan kebiasaan yang termasuk bid’ah di dalam pengurusan jenazah dan hendaknya ia menegaskan wasiat itu.”
MENALKINI ORANG YANG SEDANG MENGHADAPI SAKARATUL MAUT
Apabila seseorang tengah menghadapi sakaratul maut, hendaknya orang-orang yang ada di sekitarnya melakukan hal-hal sebagai berikut.
A. Menalkin dengan syahadat, sesuai sabda Rasulullah, “Talkinilah orang yang akan wafat di antara kalian dengan, ‘LAA ILAAHA ILLALLAAH.’ Barang siapa yang pada akhir ucapannya, ketika hendak wafat,‘LAA ILAAHA ILLALLAAH,’ maka ia akan masuk surga suatu masa kelak, kendatipun akan mengalami sebelum itu musibah yang mungkin menimpanya.”
Rasulullah dalam hadis lain bersabda,
“SIAPA SAJA YANG WAFAT SEDANG IA MEYAKINI BAHWASANYA TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH, MAKA IA MASUK SURGA.”
“BARANG SIAPA YANG MENINGGAL SEDANGKAN IA TIDAK MENYEKUTUKAN TUHAN DENGAN SESUATU APA PUN, MAKA IA MASUK SURGA.”(HR Imam Muslim)
B. Hendaklah mendoakannya dan janganlah mengucapkan di hadapannya kecuali kata-kata yang baik, berdasarkan hadis yang diberitakan oleh Ummu Salamah bahwa Rasulullah telah bersabda,
“APABILA KALIAN MENDATANGI ORANG YANG SEDANG SAKIT ATAU ORANG YANG HAMPIR MATI, MAKA HENDAKLAH KALIAN MENGUCAPKAN PERKATAAN YANG BAIK-BAIK KARENA PARA MALAIKAT MENGAMINI APA YANG KALIAN UCAPKAN.”(HR Muslim, al-Baihaqi, dan lainnya)
1. Menalkin yang dimaksud bukanlah melafalkan syahadat dan memperdengarkannya di hadapan orang yang sudah mati, akan tetapi yang diperintahkan adalah membimbing orang yang sedang sekarat untuk mengucapkannya. Bukan seperti yang banyak dilakukan orang di masa sekarang, mereka berkumpul membaca tahmid dan takbir serta LAA ILAAHA ILLALLAAH. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah yang dikisahkan Anas bin Malik r.a., ia berkata, “Suatu ketika Rasulullah sedang menengok salah seorang yang sedang sakit keras di kalangan Anshar, lalu berkatalah Rasulullah kepada orang tersebut, ‘Wahai Paman, ucapkanlah tidak ada tuhan selain Allah.’ Orang itu bertanya, ‘Kerabat ibumu ataukah saudara ayahmu?’ Beliau menjawab, ‘Bahkan kerabat ibuku.’ Orang sakit itu bertanya lagi, ‘Apakah lebih baik untukku mengucapkan LAA ILAAHA ILLALLAAH?’ Nabi menjawab, ‘Benar’.” (HR Ahmad dengan sanad yang sahih sesuai persyaratan Muslim)
2. Adapun pembacaan surat Yasin di hadapan orang yang sudah meninggal sambil menghadapkannya ke arah kiblat, tidak ada satu pun hadis sahih yang dapat dijadikan panutan. Bahkan Sa’id ibnul Musayyab (imam para tabi’in, PENJ) menyatakan makruh menghadapkannya ke arah kiblat. Sa’id pernah berkata sambil mengingkari, “Bukankah (sang mayat) seorang muslim?”
Kemudian Ibnu Abi Syaibah dalam AL-MUSHANNIF (IV/76) mengisahkan dari Zar’ah bin Abdurrahman bahwa ia telah menyaksikan Sa’id ibnul Musayyab yang tengah sakit dan dii sisinya Abu Salamah bin Abduraahman.
1. Tidaklah dilarang bagi seorang muslim mendatangi orang kafir yang tengah menghadapi kematian dengan tujuan untuk menawarkan keislaman kepadanya, dengan harapan ia akan memeluk Islam. Hal ini berdasarkan pada hadis Anas r.a., ia berkata, “Ada seorang anak Yahudi yang dahulu pernah menjadi pelayan Rasulullah. Ketika ia sakit, beliau menjenguknya. Beliau duduk di dekat kepala anak itu dan berkata kepadanya, ‘Masuklah ke dalam agama Islam,’ sambil melihat ke arah ayahnya yang berada di dekatnya. Sang ayah berkata kepada putranya yang sedang sakit itu, ‘Patuhilah Rasulullah.’ Maka anak itu memeluk agama Islam. Ketika keluar Rasulullah bersabda, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak itu dari api neraka.’ Dan ketika mendengar ia wafat, beliau memerintahkan para sahabat, ‘Salatilah sahabat kalian itu’.” (HR Bukhari, al-Baihaqi dan Ahmad)
HAL-HAL YANG HARUS DILAKUKAN SETELAH SESEORANG MENINGGAL
1. Apabila menjumpai seseorang telah menghembuskan nafasnya yang terakhir, maka diharuskan untuk melakukan hal-hal sebagai berikut.
A. Segeramemejamkan mata sang mayat dan mendoakannya.Tindakan seperti ini berdasarkan hadis yang dikisahkan Ummu Salamah r.a., ia berkata, “Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam mendatangi Abu Salamah yang telah menghembuskan nafaasnya yang terakhir dengan kedua mata terbelalak, lalu beliau memejamkan mata Abu Salamah dan bersabda, “Sesungguhnya apabila roh telah direnggut (hendaknya) diikuti dengan pemejaman mata.’ Pada saat keluarga sang mayat gaduh, beliau pun bersabda, ‘Janganlah kalian mengatakan kecuali yang baik-baik, karena sesungguhnya para malaikat mengamini apa yang kalian ucapkan.’ Rasulullah berkata seraya mendoakan Abu Salamah, ‘Ya Allah, ampunilah dosa dan kesalahan Abu Salamah, tinggikanlah derajatnya di kalangan orang-orang yang diberi petunjuk dan janganlah keturunan sesudahnya termasuk orang-orang yang binasa. Ampunilah kami dan dia, lapangkanlah kuburnya serta berilah cahaya di dalamnya’.” (HR Imam Muslim, Ahmad, dan al-Baihaqi)
B. Menutup seluruh badan sang mayat dengan pakaian (kain), selain pakaian yang dikenakannya. Yang demikian berdasarkan hadis Aisyah r.a., “Ketika Rasulullah wafat, seluruh jasadnya ditutupi dengan kain lurik (nama jenis kain buatan Yaman).” (HR Bukhari, Muslim, dan al-Baihaqi)
C.Berbeda halnya bila seseorang yang meninggal sedang mengenakan kain ihram (sedang menunaikan ibadah haji atau umrah). Untuk kasus ini hendaknya seluruh jasadnya ditutupi kecuali bagian kepada dan wajahnya berdasarkan hadis yang dikisahkan oleh Ibnu Abbas r.a., ia berkata, “Pernah seseorang yang tengah wuquf di Arafah lalu terjatuh dari tunggangannya hingga tulang lehernya patah dan meninggal dunia. Kemudian Rasul bersabda seraya memerintahkan, ‘Mandikanlah mayatnya dengan air sidrin (nama daun sebuah pohon) dan kafanilah ia dengan dua helai kain ihramnya dan janganlah diberi wangi-wangian (parfum); dan jangan pula ditutupi kepala dan wajahnya karena kelak ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dengan bertalbiah’.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Na’im, dan al-Baihaqi)
D.Hendaknya mengerakan pengurusan pemakamannya bila telah nyata kematiannya. Hal demikian berdasarkan sabda Rasulullah yang dikisahkan Abu Hurairah r.a., “Segerakanlah pemakaman jenazah….”
E. Hendaklah memakamkan sang mayat di kota tempat ia wafat dan tidak dipindahkan ke kota atau negeri lain. Hal ini disebabkan pemindahan berarti bertentangan atau menyalahi perintah untuk menyegerakan pengurusan, sebagaimana diriwayatkan dalam hadis Abu Hurairah tadi. Juga berdasarkan hadis Jabir bin Abdillah r.a. ketika ia mengatakan,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar