Jumat, 11 September 2015
MENGAFANI MAYAT
MENGAFANI MAYAT
Setelah usai memandikan mayat, maka diwajibkan mengafaninya. Hal ini berdasarkan perintah Rasulullah dalam hadisnya yang mengisahkan orang yang memakai ihram terjatuh dari untanya, seperti yang telah saya bahas sebelumnya.
Kafan yang digunakan untuk mayat hendaklah dibeli dari hartanya, sekalipun ia tidak mewariskan kecuali harta yang digunakan untuk membeli kain kafan itu. Hal ini berdasarkan hadis Khabbab ibnul Art, ia berkata, “Kami berhijrah (berjihad) FI SABLILILLAH bersama Rasulullah dan kami hanya mengharap rida-Nya, maka wajib bagi Allah mengganjar kami. Dan kami ada yang belum mendapatkan hasil kemenangan (maksudnya pampasan [ganti rugi] perang), di antara mereka adalah Mush’ab bin Umair yang mati syahid terbunuh dalam Perang Uhud, dan tidak didapati padanya sesuatu pun (dalam riwayat lain: tidak meninggalkan sesuatu) kecuali sepotong kain. Dan ketika kami menutupi bagian kepalanya maka tampak bagian kakinya. Dan ketika kami menutupi bagian kakinya, maka tampaklah bagian kepalanya. Ketika itu Rasulullah memerintahkan kami dengan sabdanya, ‘Tutuplah bagian kepalanya’ (dalam riwayat lai: tutupilah dengan kain tersebut bagian kepalanya) dan tutupilah bagian kakinya dengan idzkhir (rumput-rumputan berbau sedap, penj). Dan di antara kami ada yang mendapatkan hasil dari penaklukan.” (HR Bukhari, Muslim, Ibnul Jarud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, al-Baihaqi dan Ahmad)
Hendaklah kain kafan yang digunakan membungkus mayat mencukupi untuk seluruh tubuhnya. Hal ini berdasarkan hadis dari Jabir bin Abdullah r.a. bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam suatu hari berkhutbah dan menyebutkan bahwa salah seorang dari sahabatnya meninggal dan dikafani dengan kafan yang tidak cukup menutupi seluruh jasadnya dan dikebumikan pada malam hari, maka beliau mengecamnya, “Apabila salah seorang di antara kalian mengafani mayat saudara kalian maka hendaknya membaguskan kain kafannya (jika mampu).” (HR Muslim, Ibnul Jarud, Abu Daud, Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dari Abu Qatadah)
Para ulama berpendapat, yang dimaksud dengan membaguskan kain kafan adalah bersih, tebal, dan menutupi seluruh jasadnya secara sederhana. Jadi, yang diutamakan bukan yang berharga mahal dan terkesan mewah. Akan halnya persyaratan yang dikemukakan Imam Nawawi bahwa kai nkafan yang digunakan hendaknya dari jenis kain yang biasa dikenakan sag mayat semasa hidupnya. Menurut saya, itu perlu ditinjau ulang. Pendapat tersebut tidak ada dalilnya dan kadang-kadang seseorang semasa hidupnya pernah memakai kain yang mahal dan kurang baik. Dengan demikian, yang paling tepat adalah kesederhanaan, tidak terlalu baik dan tidak pula terlalu buruk.
1. Apabila kain yang ada sempit sehingga tidak dapat menutupi seluruh bagian tubuh sang mayat, maka hendaknya diutamakan menutupi bagian kepalanya dan apa yang dapat dijangkau. Sedangkan bagian yang tak dapat terjangkau oleh kain kafan ditutupi dengan apa saja yang dapat digunakan, termasuk di antaranya idkhir dan jenis rerumputan lainnya. Tentang hal ini ada dua hadis sebagai dalilnya.
1. Hadis dari Khabbab ibnul Art yang meriwayatkan tentang Mush’ab bin Umair r.a. yang baru saja kemukakan.
2. Haritsah bin Madhrab, berkata, “Suatu hari aku mendatangi Khabbab yang telah dicantuk (para perutnya) tujuh kali. Khabbab berkata, “Kalau saja aku belum mendengar Rasulullah bersabda, ‘Jangan sekali-kali kalian menginginkan mati,’ maka pasti aku menginginkannya. Sesungguhnya, engkau telah melihat bersama Rasulullah bahwa aku tak memiliki barang satu dirham pun dan sekarang di sebelah rumahku sudah ada empat puluh ribu dirham.” Kemudian didatangkan kain kafannya, seraya menangis ketika melihatnya, dan berkata, “Akan tetapi Hamzah tidak memiliki kain kafan yang menutupi tubuhnya kecuali burdah (serban), yang jika ditutupi bagian kepalanya maka bagian kakinya terbuka, dan bila ditutupi bagian bawahnya bagian kepalanya terlihat. Kemudian ditutupilah bagian kakinya dengan idkhir (rerumputan berbau harum).” (HR Ahmad dan at-Tirmidzi)
Kemudian asy-Syaikhan meriwayatkan dan juga lainnya, lewat jalur sanad lain tentang larangan mengharap mati.
Dan riwayat-riwayat tersebut mempunyai saksi penguat dari Anas bin Malik r.a.
1. Apabila jumlah kain kafannya sedikit, sementara maatnya banyak, maka diperbolehkan untuk mengafani beberapa mayat dalam satu kain kafan, dengan mendahulukan mayat yang paling menguasai Alquran. Hal ini berdasarkan hadis dari Anas r.a. yang berkata, “Seusai Perang Uhud, Rasulullah mendekati jasad Hamzah bin Abdul Muthalib yang telah dipotong hidungnya dan dicabik-cabik isi perutnya, kemudian beliau bersabda, ‘Kalau Shafiyah (adiknya) tidak akan sedih pastilah akan aku biarkan engkau dimakan binatang buas dan burung, hingga kelak dibangkitkan kembali oleh Allah dengan mengeluarkannya dari dalam perut binatang dan burung.’ Beliau kemudian mengafaninya dengan kain seadanya, yang bila digunakan untuk menutupi kepalanya maka terlihatlah kakinya, dan bila digunakan menutupi kakinya maka terlihatlah kepalanya. Beliau akhirnya menutupi bagian kepalanya dan tidak pernah belau menyalati para syuhada kecuali dia (Hamzah) sambil bersabda, ‘Akulah saksi bagi kalian hari ini.’” Anas berkata, “Kala itu banyak sekali yang mati syahid, tetapi sedikit jumlah kain kafannya dan dikuburkan dalam satu liang lahat dua atau tiga mayat, seraya beliau menanyakan siapa yang paling banyak menguasai Alquran, kemudian mendahulukannya dimasukkan ke liang lahat dan mengafani dua atai tiga mayat dengan satu kain kafan.” (HR Abu Daud, at-Tirmidzi, Ibnu Sa’ad, al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ahmad)
2. Tidak diperkenankan melucuti pakaian yang dikenakan seseorang yang mati syahid, tetapi harus dikuburkan bersamanya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ketika memerintahkan penguburan para syuhada Perang Uhud, “Katafanilah mereka dengan pakaian yang melekat di badannya.” (HR Ahmad)
3. Saat mengafani mayat lebih disukai dengan satu kain atau lebih, di atas pakaian yang dikenakannya, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah terhadap Mush’ab bin Umair dan Hamzah bin Abdul Muthalib r.a. (kisahnya telah saya kemukakan pada poin ke-34, 36 dan 37). Di samping itu,
ada dua riwayat lain tentang hal ini.
1. Syaddad ibnul Had berkata, “Ada seorang penduduk dusun datang menghadap Nabi sallallahu alaihi wa sallam, lalu mengimani dan mengikuti ajarannya, kemudian ia berkata, ‘Aku akan berhijrah bersamamu. Kemudian beliau menitipkannya kepada para sahabat. Ketika terjadi Perang Khaibar, Rasulullah bersama pasukannya meraih kemenangan hingga mendapatkan pampasan perang, maka Rasulullah membagi-bagikannya kepara para sahabat. Ketika orang itu mendapat bagiannya, ia bertanya, ‘Harta apakah ini?’ Para sahabat menjawab, ‘Bagian (pampasan) yang Rasulullah bagikan untukmu.’ Ia pun kemudian menerimanya seraya membawanya ke hadapan Nabi sallallahu alaihi wa sallam dan bertanya, ‘Harta apakah ini?’ Beliau menjawab, ‘Bagian pampasan untukmu yang aku berikan.’ Orang itu menjawab, ‘Tidaklah untuk ini aku mengikutimu, tetapi agar aku terkena panah di sini –sambil mengisyaratkan tangannya ke arah kerongkongannya– dan aku mati, lalu Allah memasukkan aku dalam surga.’ Rasulullah bersabda, ‘Bila benar apa yang engkau niatkan, maka benar pula Allah Taala akan janji-Nya.’ Belum lagi berselang lama dari kepegiannya berperang melawan musuh, ia didatangkan kepada Nabi sallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan mati terkena busur anak panah pada kerongkongan yang pernah diisyaratkannya. Nabi kemudian bertanya, ‘Inikah orangnya?’ Para sahabat menjawab, ‘Benar, dialah orangnya.’ Beliau kemudian bersabda, ‘Ya Allah, inilah hamba-Mu yang telah keluar berjihad di jalan-Mu lalu mati terbunuh syahid, maka aku pun menjadi saksinya.’”(HR an-Nasa’i, at-Thahawi, al-Hakim, dan al-Baihaqi)
2. Az-Zubair ibnul Awwam r.a. berkata, “Ketika Perang Uhud, datanglah seorang wanita berlari-lari dan hampir mendekati para korban yang gugur.” Zubair berkata, “Nabi menduga, ia hanya akan melihat mereka, seraya berkata, ‘Wanita, wanita!’” Zubair berkata, “Aku mengamatinya dan aku kira ia adalah ibuku Shafiyah. Aku pun kemudian menghampirinya sebelum wanita itu sampai ke tempat kumpulan korban perang. Wanita itu pun mendorong dadaku. Dan adalah dia seorang wanita kuat, seraya berkata, ‘Peganglah ini, aku tidak rela memberikan untukmu.’ Aku katakan, ‘Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam memanggilmu.’ Wanita itu pun berhenti lalu mengeluarkan dua potong kain sambil berkata, ‘Ini dua helai kain yang sengaja aku bawa untuk saudaraku Hamzah, karena aku telah mendengar bahwa ia gugur. Maka kafanilah dia dengan kedua kain ini.’ Kami kemudian membawa dua potong kain tersebut untuk mengafani Hamzah, namun di sampingnya tergeletak korban lain dari kaum Anshar, yang dibunuh persis sebagaimana dialami Hamzah. Kami merasa tidak sampai hati bila mengafani Hamzah dengan kedua kain sementara orang Anshar itu tak mempunyai kain kafan. Akhirnya, kami putuskan bagi Hamzah satu kain dan bagi orang Anshar itu satu kain, sambil kami perkirakan hingga menjadilah yang satu lebih besar dari yang lain. Akhirnya, kami mengundinya dan mengafaninya masing-masing dengan satu kain.” (HR Imam Ahmad dan al-Baihaqi)
Bagi orang yang berihram maka dikafani dengan dua helai pakaian ihramnya. Hal ini berdasarkan perintah Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam ketika memerintahkan seorang yang berihram mati terjatuh dari umatnya, saat mengenakan kain ihram (seperti telah saya kemukakan pada bagian ke-3).
Lebih disukai dalam mengafani beberapa hal berikut.
1. Menggunakan kain kafan putih, berdasarkan sabda Rasulullah, “Kenakanlah dari pakaian kalian yang berwarna putih karena sesungguhnya warna putih itu merupakan yang terbaik dari pakaian kalian dan kafanilah dengannya.” (HR Abu Daud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Baihaqi, Ahmad, adh-Dhiya’, dan al-Hakim dari Samurah bin Jundub r.a.)
2. Hendaklah kain kafan yang digunakan sebanyak tiga kali lipatan. Berdasarkan hadis dari Aisyah r.a., “Sesungguhnya Rasulullah telah dikafani dengan tiga lilitan kain kafan dari Yaman berwarna putih buatan Suhul (di Yaman) dari kain katun, tidak ada padanya ganis dan tidak pula serban.”(Dikeluarkan oleh enam perawi, Ibnul Jarud, al-Baihaqi, dan Ahmad)
3. Hendaklah pada salah satu lilitannya menggunakan kain yang bergaris apabila memungkinkannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah, “Apabila salah seorang di antara kalian meninggal sedang ia tidak mampu, maka hendaknya menggunakan kafan Hibarah.” (HR Abu Daud, al-Baihaqi dari Wahb bin Munabbah dari Jabir bin Abdillah r.a. secara marfu’)
Sanad riwayat ini sahih sejauh penyidikan saya.
Maka perlu saya tegaskan, riwayat ini mempunyai saksi penguat yang lain dalam periwayatan Ahmad dari Abuz Zubair dan Jabir bin Abdillah r.a. dengan redaksi, “Barang siapa mempunyai keleluasaan harta, hendaknya ia kafani dengan kain dari HIBARAH.” 12
Sanad tersebut adalah sahih, kalau saja tidak karena ‘an’anahnya Abuz-Zubair. Ketahuilah bahwa hadis ini tidaklah bertentangan dengan hadis tentang perintah mengharuskan kain kafan berwarna putih, karena memungkinkan untuk disatukan dari berbagai seginya, seperti sangat dikenal tata caranya di kalangan ulama. Dalam hal ini minimal dari dua segi yang saya lihat dengan gamblang. Pertama, kain putih yang bergaris, berarti dominasi warnanya adalah putih sehingga garis-garisnya sebagai pelengkap saja. Maka mencakup pula hadis perintah mengenakan kain kafan berwarna putih, dengan alasan karena putihlah yang mendominasi dan ibrah itu umumnya diambil dari yang umum. Ini bila kain kafannya hanya satu. Bila banyak malah lebih gampang. Kedua, kain kafan yang dijadikan lilitan pertamanya adalah hibarah (putih bergaris) dan selebihnya (lilitan berikutnya) kain putih. Maka kita telah mengamalkan kedua hadis tersebut. Inilah yang dipahami mazhab Hanafi sekaligus merupakan dalil mereka.Yang menjadi landasan mazhab Hanafi bukanlah hadis yang disandarkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar kepada Abu Daud dari Jabir bin Abdillah, yang menyatakan bahwa Rasulullah dikafani dengan dua kali lilitan dan sekali dengan kain hibarah, kemudian mengatakan: sanad riwayat ini hasan. Ini tidak benar. Mazhab Hanafi tidak berdalil dengannya dan riwayat tersebut tidak ada pada periwayatan Abu Daud. Namun yang ada pada periwayatan Abu Daud dari Aisyah r.a., ketika ia mengatakan, “Kemudian didatangkan kain burdah (sejenis serban) kepada orang-orang yang memandikan Nabi, tetapi mereka menolak dan akhirnya tidak mengafani Nabi dengannya.” Riwayat tersebut sanadnya sahih.
4. Memberikan wewangian dengan parfum tiga kali. Sabda Rasulullah, “Apabila alian memberikan wewangian setanggi kepada mayat, maka hendaklah lakukan dengan tiga kali (putaran).” (HR Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan al-Baihaqi)
Akan tetapi, ketentuan ini tidak mencakup mayat yang dalam kondisi mengenakan kain ihram. Hal ini berdasarkan sabda beliau yang mengisahkan tentang orang yang mati karena terjatuh dari untanya saat berihram, “…dan janganlah kalian beri dia wangi-wangian…”, seperti telah dijelaskan dalam masalah
1.Tidaklah diperkenankan bermewah-mewah dalam memberikan kain kafan dan tidak diperkenankan pula melebih ttiga kali lilitan, sebab yang demikian berarti menyalahi yang dilakukan Nabi sallallahu alaihi wa sallam. Seperti telah disinggung sebelum ini. Selain berdasarkan alasan tersebut, perilaku ini juga mengandung unsur menyia-nyiakan atau membuang-buang harta padahal praktik demikian dilarang dalam syariat, terlebih bila kondisi orang yang hidup (keluarga yang ditinggalkan) lebih berhak untuk memanfaatkannya.
Adapun ihwal mengafani mayat perempuan, dalam hal ii sama dengan yang berlaku bagi laki-laki, disebabkan tidak adanya dalil khusus.
Menurut saya, itu sangatlah tepat dan indah sekali apa yang dikemukakan Abu ath-Thayyib di dalam kitab ar-Raudhatun-Nadiyah (I/165), ketika ia mengatakan, “Memperbanyak lilitan kain kafan dan menggunakan kaiin yang mahal bukanlah perbuatan terpuji.” Kalau saja tidak ada penjelasan melalui nash-nash syariat dapatlah kita katakan bahwa mengafani mayat dengan kain-kain termasuk menghambur-hamburkan harta atau pemborosan. Sebab, yang demikian tidaklah memberi manfaat bagi si mayat dan tidak pula manfaatnya kembali kepada orang-orang yang hidup (ahli warisnya). Semoga Allah memberi rahmat kepada Abu Bakar ash-Shiddiq ketika mengatakan, “Sesungguhnya yang hidup (ahli warisnya) lebih berhak mengenakan kain yang baru.”Itulah pernyataan Abu Bakar ketika penobatannya menjadi khalifah dikenakan pakaian kebesaran kemudian dijanjikan akan dikenakannya pula sebagai salah satu kain kafan yang akan membungkusnya kelak ketika mati.
Akan halnya hadis yang menceritakan bahwa Nabi dikafani dengan tujuh kain adalah riwayat mungkar yang secara tunggal diberitakan oleh perawi yang buruk hafalannya. Baca kitab Nashabur-Raayah (II/261-262).
MENGUSUNG JENAZAH DAN MENGIRINGINYA
1. Diwajibkan bagi muslim untuk membawa (mengusung) jenazah hingga ke kuburan dan mengiringinya. Hal ini merupakan hak mayat terhadap kaum muslimin seluruhnya yang masih hidup. Dalam hal ini banyak sekali hadis yang dapat dijadikan sandaran.
1. Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah bersabda, “Hak seorang muslim terhadap saudaranya sesama muslim ada lima, yaitu menjawab salam, menengoknya ketika sakit, mengiring jenazahnya, memenuhi undangannya, dan mendoakannya ketika bersin.” (HR Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Ibnul Jarud, dan Ahmad)
Dalam riwayat lain ditambahkan, “Dan apabila minta nasihat hendaklah menasihatinya.” (HR Imam Muslim dan Ahmad)
2. Dari al-Bara’ bin Azib r.a., Rasulullah bersabda, “Tengoklah orang sakit dan iringilah jenazah (antarkanlah jenazah) maka akan mengingatkan kalian akan hari akhir.” (HR Ibnu Abi Syaibah, al-Bukhari, Ibnu Hibban, ath-Thayalusi, Ahmad, dan al-Baghawi.)
1. Mengiringi jenazah dalam hal ini ada dua tingkatan; mengiringi dari rumah keluarga sang mayat kemudian menyalatinya, dan mengiringinya dari ruamh keluarga hingga selesai dikebumikan. Kedua tingkatan tersebut pernah dilakukan Rasulullah.
Abu Sa’id al-Khudri r.a. berkata, “Kami mendahului Nabi memasuki kota Madinah. Ketika diberitakan kepada kami ada yang sakit kami memberi kabar kepada Nabi lalu beliau mendatanginya dan memohonkan ampun baginya. Dan ketika telah wafat, Nabi beserta orang-orang yang bersamanya pergi hingga mayat tersebut dikebumikan. Barangkali yang demikian menyita waktunya dan kami merasa khawatir yang demikian menyulitkan beliau sallallahu alaihi wa sallam. Berkatalah seseorang kepada yang lain, ‘Kalau saja kita memberi kabar nabi hingga telah nyata kematiannya, barangkali yang demikian tidak akan menyita waktunya atau membuat beliau tidak nyaman.’ Kami juga pernah melakukan yang demikian, ketika berita kematian sampai kepada kami maka segera kami kabarkan kepada beliau. Kemudian, beliau mendatanginya dan menyalatinya. Kadangkala beliau langsung beranjak setelah menyalati dan kadangkala beliau duduk menunggu lalu mengantarkannya hingga selesai dikebumikan. Kami pun ada kalanya melakukan sebagaimana yang dilakukan Nabi. Kemudian kami katakan, ‘Kalau Nabi tidak muncul di hadapan kami, lalu kami bawa jenazah ke hadapan beliau hingga menyalatinya, barangkali yang demikian justru lebih berkenan baginya. Dan hal itu berjalan hingga hari ini.’” (HR Ibnu Hibban, al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ahmad)
1. Dalam hal ini tidak diragukan lagi bahwa tingkatan kedualah yang lebih utama. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah, “Barang siapa yang menghadiri jenazah sejak dari rumahnya (dalam riwayat lain, “Barang siapa yang mengantarkan jenazah seorang muslim karena keimanan dan mengharapkan keridaan Allah semata”) hingga ia menyalatinya, maka baginya pahala satu qirath. Dan barang siapa yang mengantarkannya hingga dikebumikan (dalam riwayat lain, “hingga selesai”) maka baginya pahala dua qirath. Sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah dua qirath itu?’ Beliau menjawab, ‘Bagaikan dua buah gunung yang sangat besar’ (dalam riwayat lain, ‘Setiap qirath seperti gunung Uhud’).” (HR Bukhari, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnul Jarud, al-Baihaqi, ath-Thaliyi, dan Ahmad)
Pemberitaan Kematian
PEMBERITAAN KEMATIAN YANG DIPERBOLEHKAN
Diperbolehkan mengumumkan kematian bila tidak diikuti dengan cara-cara yang mirip dengan penyebaran berita yang pernah dilakukan di zaman jahiliah (kebodohan). Pemberitahuan ada kalanya menjadi suatu keharusan bila ternyata tidak ada orang yang melakukan pengurusan jenazah, seperti memandikan, mengafani, dan menyalati mayat.
Dalam hal ini banyak hadis Rasulullah yang dapat dijadikan sandaran, di antaranya.
A. Abu Hurairah r.a. berkata, “Rasulullah mengumumkan kematian an-Najasyi di hari wafatnya seraya keluar ke masjid dan membentuk shaf, kemudian mentakbiri (menyalatinya) dengan empat takbir.” (HR Syaikhain dan lainnya. Rinciannya akan saya sebutkan nanti dengan berbagai tambahannya dan jalur sanadnya, insya Allah.)
B. Anas bin Malik r.a. berkata, Rasulullah bersabda, “Zaid bin Haritsah mengemban panji, lalu ia gugur. Maka diembanlah oleh Ja’far, ia pun gugur. Kemudian diembanlah panji itu oleh Khalid ibnul Walid tanpa ada pengangkatan komandan maka terbukalah pintu keselamatan baginya.” (HR Imam Bukhari)
Mengenai hal ini al-Hafizh Ibnu Hajar berkomentar, “Dijadikannya bab itu, antara lain mengisyaratkan bahwa pemberitaan kematian sesungguhnya tidaklah dilarang secara keseluruhan (mutlak). Penyebaran berita kematian yang dilarang adalah yang biasa dilakukan di zaman jahiliah, berupa menyuruh utusan tertentu untuk menyiarkannya dari pintu ke pintu rumah penduduk termasuk di pasar-pasar…”
Saya (penulis) berpendapat, apabila cara-cara seperti disinggung Ibnu Hajar kita asumsikan sebagai cara-cara jahiliah, maka penyiaran berita lewat mikrofon di atas menara-menara masjid adalah juga bentuk NA’YUN yang disamakan dengan cara-cara jahiliah. Oleh karena itu, saya cantumkan dalam lembaran sebelum ini. Bahkan ada kalanya perbuatan seperti itu diikuti pula dengan perbuatan memungut upah dari pekerjaan menyebarkan berita kematian. Atau ada pula yang memuji-muji sang mayat, padahal ia ketahui sebenarnya tidaklah demikian, atau sebaliknya. Seperti imbauan, “Marilah kita salati si Fulan yang menjadi kebanggaan kita sebagai anu dan anu serta banyak berbuat ini dan itu”, dan sebagainya.
Lebih disukai, bagi penyiar berita kematian, untuk meminta orang-orang yang diberitahukannya agar memohonkan ampunan (beristighfar) bagi si mayat. Ini berdasarkan hadis Abu Qatadah r.a., Rasulullah mengutus para komandan pasukannya dengan berwasiat kepada mereka, “Hendaknya kalian serahkan panji kepemimpinan pasukan kepada Zaid bin Haritsah. Bila Zaid gugur, hendaklah Ja’far bin Abi Thalib yang mengembannya. Dan bila Ja’far gugur pula, maka Abdullah bin Rawahah al-Anshari yang menggantikannya.” Kemudian Ja’far berdiri dan berkata, “Kukorbankan ayah dan ibuku untuk membelamu, wahai Rasulullah, tidaklah aku merasa khawatir ataupun takut engkau angkat Zaid menjadi pemimpin pasukan kami.” Beliau menjawab, “Kalau begitu segeralah berangkat, sesungguhnya engkau tidaklah mengetahui yang manakah yang akan berakibat lebih baik.” Maka mereka pun segera berangkat.
Kemudian, suatu hari Rasulullah menaiki mimbar dan menyeru orang-orang untuk salat berjamaah, beliau bersabda, “Telah kembali kebaikan atau telah jelas kebaikan –Abdurrahman bin Mahdi merasa ragu– maukah kalian aku beri kabar tentang pasukan tentara kalian yang tengah melakukan penyerangan? Mereka telah berangkat dan berhadapan dengan musuh mereka dan Zaid telah gugur sebagai syahid, maka mohonkanlah ampunan (istigfar) baginya dan saksikan ia sebagai syahid. Kemudian panji itu diemban oleh Abdullah bin Rawahah dan ia pun gugur sebagai syahid, maka mohonkanlah ampunan baginya. Selanjutnya panji itu diemban oleh Khalid bin Walid, padahal ia bukan termasuk pemimpin pasukan namun ia berinisiatif sendiri.” Kemudian Rasulullah mengangkat tangannya dan berdoa, “Ya Allah, dialah pedang dari sekian banyak pedang-pedang-Mu, maka tolonglah (menangkanlah) dia.” Sejak saat itulah, Khalid bin Walid dinamakan SAIFULLAH (pedang Allah). Lebih jauh beliau bersabda, “Segeralah berangkat dan bantulah saudara-saudara kalian itu dan janganlah ada seorang pun yang tertinggal.” Maka seketika itu serentak orang-orang pergi untuk membantu pasukan muslimin dengan berjalan kaki dan menunggang kendaraan. (HR Ahmad)
Dalam persoalan ini diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dan lainnya mengenai sabda beliau sallallahu alaihi wa sallam,, “Mohonkanlah ampunan bagi saudara kalian…
TANDA-TANDA HUSNUL KHATIMAH
Sesungguhnya Pembuat Syariat Yang Mahabijaksana telah menemukan tanda-tanda yang dapat diketahui bahwa seseorang memperoleh husnul-khatimah—telah Allah tetapkan yang demikian bagi kita sebagai keutamaan dan anugerah-Nya. Oleh karenanya, seorang mukmin yang pada saat meninggalnya menyandang salah satu dari tanda-tanda tersebut berarti telah dianugerahi satu kabar gembira.
mengucapkan kalimat syahadat ketika wafat. Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang pada akhir kalimatnya mengucapkan ‘Laa ilaaha illallaha’, maka ia dimaukkan ke dalam surga.” (HR Hakim)
ketika wafat dahinya berkeringat. Ini berdasarkan hadis dari Buraidah
ibnul Khasib r.a.. Adalah Buraidah, dahulu ketika di Khurasan, menengok saudaranya yang tengah sakit, namun didapatnya ia telah wafat dan terlihat pada jidatnya berkeringat, kemudian ia berkata, “Allahu Akbar, sungguh aku telah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Matinya seorang mukmin adalah dengan berkeringat dahinya.’”(HR Ahmad, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan ath-Thayalusi dari Abdullah bin Mas’ud)
wafat pada malam atau hari Jumat. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah, “Tidaklah seorang muslim yang wafat pada hari Jumat atau pada malam Jumat kecuali pastilah Allah menghindarkannya dari siksa kubur.” (HR Imam Ahmad)
mati syahid dalam medan perang. Mengenai hal ini Allah berfirman
,
“JANGANLAH KAMU MENGIRA BAHWA ORANG-ORANG YANG GUGUR DI JALAN ALLAH ITU MATI, BAHKAN MEREKA ITU HIDUP DI SISI TUHANNYA DENGAN MENDAPAT REZEKI, MEREKA DALAM KEADAAN GEMBIRA DISEBABKAN KARUNIA ALLAH YANG DIBERIKAN-NYA KEPADA MEREKA, DAN MEREKA BERGIRANG HATI TERHADAP ORANG-ORANG YANG MASIH TINGGAL DI BELAKANG YANG BELUM MENYUSUL MEREKA, BAHWA TIDAK ADA KEKHAWATIRAN TERHADAP MEREKA DAN TIDAK (PULA) MEREKA BERSEDIH HATI. MEREKA BERGIRANG HATI DENGAN NIKMAT DAN KARUNIA YANG BESAR DARI ALLAH, DAN BAHWA ALLAH TIDAK MENYIA-NYIAKAN PAHALA ORANG-ORANG YANG BERIMAN.”(Ali Imran: 169-171)
Adapun hadis-hadis Rasulullah yang berkenaan dengan masalah ini sangat banyak dijumpai, di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Rasulullah bersabda, “Bagi orang yang mati syahid ada enam keistimewaan, yaitu diampuni dosanya sejak mulai pertama darahnya mengucur, melihat tempatnya di dalam surga, dilindungi dari azab kubur dan terjamin keamanannya dari malapetaka besar, merasakan kemanisan iman, dikawinkan dengan bidadari, dan diperkenankan memberi syafaat bagi tujuh puluh orang kerabatnya.” (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)
2. Seorang sahabat Rasulullah bersabda, “Ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, mengapa orang mukmin mengalami fitnah di kuburan mereka kecuali yang mati syahid?’ Beliau menjawab, “Cukuplah ia menghadapi gemerlapnya pedang di atas kepalanya sebagai fitnah.’” (HR an-Nasa’i)
Dapatlah memperoleh mati syahid asalkan permintaannya benar-benar muncul dari lubuk hati dan dengan penuh keikhlasan, kendatipun ia tidak mendapat kesempatan mati syahid dalam peperangan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah, “Barang siapa yang memohon mati syahid kepada Allah dengan sungguh-sungguh, maka Allah akan menyampaikannya derajat para syuhada sekalipun ia mati di atas ranjangnya.” (HR Imam Muslim dan al-Baihaqi)
mati dalam peperangan FI SABILILLAH.
Ada dua hadis Rasulullah,
1. Rasulullah bersabda, “Apa yang kalian kategorikan sebagai orang yang mati syahid di antara kalian?” Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, yang kami anggap sebagai orang yang mati syahid adalah siapa saja yang mati terbunuh di jalan Allah.” Beliau bersabda, “Kalau begitu umatku yang mati syahid sangatlah sedikit.” Para sahabat kembali bertanya, “Kalau begitu siapa sajakah dari mereka yang mati syahid, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Barang siapa yang terbunuh di jalan Allah, yang sedang berjuang di jalan Allah, dan yang mati karena penyakit kolera, yang mati karena penyakit perut, maka dialah syahid, dan orang yang mati tenggelam dialah syahid.” (HR Muslim, Ahmad, dan al-Baihaqi)
2. Rasulullah bersabda, “Siapa saja yang keluar di jalan Allah lalu mati atau terbunuh, maka ia adalah mati syahid. Atau yang dibanting oleh kuda atau untanya lalu mati atau digigit binatang beracun atau mati di atas ranjangnya dengan kematian apa pun yang dikehendaki Allah, maka ia pun syahid dan baginya surga.” (HR Abu Daud, al-Hakim, dan al-Baihaqi)
mati disebabkan penyakit kolera. Di antara hadis yang meriwayatkannya sebagai berikut.
1. Dari Hafshah binti Sirin bahwa Anas bin Malik berkata, “Bagaimana Yahya bin Abi Umrah mati?” Aku jawab, “Karena terserang penyakit kolera.” Ia berkata, “Rasulullah telah bersabda, ‘Penyakit kolera adalah penyebab mati syahid bagi setiap muslim. (HR Imam Bukhari, ath-Thayalusi, dan Ahmad)
2. Aisyah r.a. bertanya kepada Rasulullah tentang penyakit kolera. Beliau menjawab, “Adalah dahulunya penyakiit kolera merupakan azab yang Allah timpakan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, kemudian Dia jadikan sebagai rahmat bagi kaum mukmin. Maka tidaklah seorang hamba yang dilanda wabah kolera lalu ia menetap di kampungnya dengan penuh kesabaran, dan mengetahui bahwa tidak akan menimpanya kecuali apa yang Allah tetapkan baginya pahala orang yang mati syahid. (HR Imam Bukhari, al-Baihaqi, dan Ahmad)
mati karena keracunan (sakit perut).
Abdullah bin Yassar berkata, Aku duduk-duduk bersama Sulaiman bin Shard dan Khalid bin Arfadhah. Keduanya menceritakan tentang seseorang yang wafat karena sakit perut. Keduanya pun kemudian berharap dapat memperoleh mati syahid. Berkatalah yang satu kepada yang lain, “Bukankah Rasulullah pernah bersabda, ‘Siapa saja yang wafat karena penyakit perut maka tak akan mendapat azab kubur.’ Yang lain menjawab, ‘Memang benar.’” (HR an-Nasa’i, at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, ath-Thayalusi, dan Ahmad).
mati karena tenggelam dan tertimpa reruntuhan (tanah longsor).
Rasulullah bersabda,”Para syuhada itu ada lima; orang yang mati karena wabah kolera, karena sakit perut, tenggelam, tertimpa reruntuhan bangunan, dan syahid berperang di jalan Allah.” (HR Imam Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, dan Ahmad)
perempuan yang meninggal karena melahirkan. Ini berdasarkan hadis yang diberitakan dari Ubadah ibnush-Shamit r.a. bahwa Rasulullah menjenguk Abdullah bin Rawahah yang tidak bisa beranjak dari pembaringannya, kemudian beliau bertanya, “Tahukah kalian, siapakah syuhada dari umatku?” Orang-orang yang ada menjawab, “Muslim yang terbunuh.” Beliau bersabda, “Kalau hanya itu para syuhada dari umatku sangat sedikit. Muslim yang mati terbunuh adalah syahid, mati karena penyakit kolera adalah syahid, begitu pula perempuan yang mati ketika bersalin adalah syahid (anaknya akan menariknya dengan tali pusarnya ke dalam surga).” (HR Ahmad, ad-Darimi, dan ath-Thayalusi)
Menurut Imam Ahmad ada periwayatan seperti itu melalui jalur sanad lain di dalam MUSNAD-nya.
mati terbakar dan penyakit busung perut.
Tentang ini banyak sekali riwayat, dan yang termasyhur adalah dari Jabir bin Atik secara marfu’, “Para syuhada ada tujuh; mati terbunuh di jalan Allah, karena penyakit kolera adalah syahid, mati tengelam adalah syahid, karena penyakit busung lapar adalah syahid, karena penyakit perut keracunan adalah syahid, karena terbakar adalah syahid, dan yang mati karena tertimpa reruntuhan (bangunan atau tanah longsor) adalah syahid, serta wanita yang mati pada saat mengandung adalah syahid.” (HR Imam Malik, Abu Daud, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad)
KETIGA BELAS, mati karena penyakit tuberkulosis (TBC). Ini berdasarkan sabda Rasulullah, “Mati di jalan Allah adalah syahid dan perempuan yang mati ketika tengah melahirkan adalah syahid, mati karena terbakar adalah syahid, mati karena tenggelam adalah syahid, mati karena penyakit TBC adalah syahid, dan mati karena penyakit perut adalah syahid.” (HR ath-Thabrani)
mati karena mempertahankan harta dari perampok. Di antara hadisnya sebagai berikut.
1. “Barang siapa yang mati karena mempertahankan hartanya (dalam riwayat lain), ‘Barang siapa menuntut hartanya yang dirampas lalu ia terbunuh’) maka dia adalah syahid.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)
2. Abu Hurairah r.a. berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Nabi seraya bertanya, ‘Ya Rasulullah, beritahukan kepadaku bagaimana bila ada seseorang yang datang dan akan merampas hartaku.’ Beliau menjawab, ‘Jangan engkau berikan.’ Ia bertanya, ‘Bagaimana bila ia membunuhku?’ Beliau menjawab, ‘Engkau mati syahid.’ Orang itu bertanya kembali, ‘Bagaimana bila aku yang membunuhnya?’ Beliau menjawab, ‘Ia masuk neraka.’” (HR Imam Muslim, an-Nasa’i, dan Ahmad)
3. Mukhariq r.a. berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Nabi dan berkata, ‘Ada seorang laki-laki hendak merampas hartaku.’ Beliau bersabda, ‘Ingatkan dia akan Allah.’ Orang itu bertanya, ‘Bila tetap saja tak mau berzikir?’ Beliau menjawab, ‘Mintalah tolong orang di sekitarmu dalam mengatasinya.’ Orang itu bertanya lagi, ‘Bila tidak saya dapati di sekitarku seorang pun?’ Beliau menjawab, ‘Serahkan dan minta tolonglah kepada penguasa.’ Ia bertanya, ‘Bila penguasa itu jauh tempatnya dariku?’ Beliau bersabda, ‘Berkelahiah dalam membela hartamu hingga kau mati dan menjadi syahid, atau untuk mencegah hartamu dirampas.’” (HR an-Nasa’i dah Ahmad)
mati dalam membela agama dan jiwa. Dalam hal ini ada dua riwayat hadis.
1. “Barang siapa mati terbunuh dalam membela hartanya maka ia mati syahid, dan siapa saja yang mati dalam membela keluarganya maka ia mati syahid, dan barang siapa yang mati dalam rangka membela agama (keyakinannya) maka ia mati syahid, dan siapa saja yang mati mempertahankan darah (jiwanya) maka ia syahid.” (HR Abu Daud, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, dan Ahmad)
2. “Barang siapa mati dalam rangka menuntut haknya maka ia akan mati syahid.” (HR. an-Nasa’i)
mati dalam berjaga-jaga (waspada) di jalan Allah. Ada dua hadis.
1. “Berjaga-jaga (waspada) di jalan Allah sehari semalam adalah lebih baik daripada berpuasa selama sebulan dengan mendirikan salat pada malam harinya. Apabila ia mati, maka mengalirkan pahala amalannya yang dahulu dilakukannya dan juga rezekinya serta amalan dari siksa kubur (fitnah kubur).”(HR Imam Muslim, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, al-Hakim, dan Ahmad)
2. “Setiap orang yang meninggal akan disudahi amalannya kecuali orang yang mati dalam berjaga-jaga di jalan Allah; maka amalannya dikembangkan hingga tiba hari kiamat nanti serta terjaga dari fitnah kubur.” (HR Abu Daud, at-Tirmidzi, al-Hakim, dan Ahmad)
orang yang meninggal pada saat mengerjakan amal saleh.
Ini berdasarkan sabda Rasulullah, “Barang siapa mengucapkan ‘Laa ilaaha illallah’ dengan berharap akan keridaan Allah dan di akhir hidupnya mengucapkannya, maka ia akan masuk surga. Dan barang siapa yang bepuasa sehari mengharapkan keridaan Allah kemudian mengakhiri hidupnya dengannya (puasa), maka masuk surga. Dan barang siapa bersedekah mencari rida Allah dan menyudahi hidupnya dengannya (sedekah), maka ia akan masuk surga.” (HR Ahmad)
PUJIAN MANUSIA TERHADAP SANG MAYATPujian kaum muslimin tentang hal-hal yang baik terhadap sang mayat –minimal dua orang– dari tetangganya yang tergolong sebagai orang-orang arif dan berilmu akan memberikan harapan masuk surga.
Anas bin Malik r.a. berkata, “Di hadapan Nabi sallallahu alaihi wa sallam pernah lewat usungan jenazah dan beliau memujinya dengan kebaikan (orang-orang pun kemudian mengikutinya memuji sang mayat). Mereka berkata, ‘Sepengetahuan kami, dia sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya.’ Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Wajib, wajib, wajib.’ Kemudian lewat kembali di hadapan beliau jenazah dan beliau mengecam dengan keburukan (orang-orang pun kemudian mengikuti seraya mengecam dengan keburukan dan mengatakan, ‘Seburuk-buruk orang adalah terhadap agama Allah’). Rasulullah kemudian berucap, ‘Wajib, wajib, wajib.’ Maka Umar bin Khaththab r.a. berkata, ‘Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu. Ketika jenazah lewat di hadapanmu, engkau memujinya dengan kebaikan dan mengatakan, wajib, wajib, wajib. Kemudian lewat kembali usungan jenazah, lalu engkau mengecamnya dengan keburukan dan engkau katakan, wajib, wajib, wajib.’ Rasulullah bersabda menjelaskan, ‘Siapa saja yang kalian puji kebaikannya maka dapat dipastikan ia masuk surga dan siapa saja yang kalian kecam dengan keburukan maka dapat dipastikan ia masuk neraka. (Para malaikat adalah saksi-saksi Allah di langit) sedangkan kalian adalah saksi-saksi Allah di muka bumi, kalian saksi-saksi Allah di muka bumi. (Allah mempunyai malaikat yang dapat berbicara dengan bahasa anak cucu Adam dalam menilai seseorang yang baik dan buruk)’.” Dalam riwayat lain, “Orang-orang mukmin adalah saksi-saksi Allah di muka bumi.” (HR Bukhari, Muslim, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Hakim, ath-Thayalusi, dan Ahmad)
mati dalam berjaga-jaga (waspada) di jalan Allah. Ada dua hadis.
1. “Berjaga-jaga (waspada) di jalan Allah sehari semalam adalah lebih baik daripada berpuasa selama sebulan dengan mendirikan salat pada malam harinya. Apabila ia mati, maka mengalirkan pahala amalannya yang dahulu dilakukannya dan juga rezekinya serta amalan dari siksa kubur (fitnah kubur).”(HR Imam Muslim, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, al-Hakim, dan Ahmad)
2. “Setiap orang yang meninggal akan disudahi amalannya kecuali orang yang mati dalam berjaga-jaga di jalan Allah; maka amalannya dikembangkan hingga tiba hari kiamat nanti serta terjaga dari fitnah kubur.” (HR Abu Daud, at-Tirmidzi, al-Hakim, dan Ahmad)
orang yang meninggal pada saat mengerjakan amal saleh. Ini berdasarkan sabda Rasulullah, “Barang siapa mengucapkan ‘Laa ilaaha illallah’ dengan berharap akan keridaan Allah dan di akhir hidupnya mengucapkannya, maka ia akan masuk surga. Dan barang siapa yang bepuasa sehari mengharapkan keridaan Allah kemudian mengakhiri hidupnya dengannya (puasa), maka masuk surga. Dan barang siapa bersedekah mencari rida Allah dan menyudahi hidupnya dengannya (sedekah), maka ia akan masuk surga.” (HR Ahmad)
PUJIAN MANUSIA TERHADAP SANG MAYATPujian kaum muslimin tentang hal-hal yang baik terhadap sang mayat –minimal dua orang– dari tetangganya yang tergolong sebagai orang-orang arif dan berilmu akan memberikan harapan masuk surga.
1. Anas bin Malik r.a. berkata, “Di hadapan Nabi sallallahu alaihi wa sallam pernah lewat usungan jenazah dan beliau memujinya dengan kebaikan (orang-orang pun kemudian mengikutinya memuji sang mayat). Mereka berkata, ‘Sepengetahuan kami, dia sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya.’ Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Wajib, wajib, wajib.’ Kemudian lewat kembali di hadapan beliau jenazah dan beliau mengecam dengan keburukan (orang-orang pun kemudian mengikuti seraya mengecam dengan keburukan dan mengatakan, ‘Seburuk-buruk orang adalah terhadap agama Allah’). Rasulullah kemudian berucap, ‘Wajib, wajib, wajib.’ Maka Umar bin Khaththab r.a. berkata, ‘Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu. Ketika jenazah lewat di hadapanmu, engkau memujinya dengan kebaikan dan mengatakan, wajib, wajib, wajib. Kemudian lewat kembali usungan jenazah, lalu engkau mengecamnya dengan keburukan dan engkau katakan, wajib, wajib, wajib.’ Rasulullah bersabda menjelaskan, ‘Siapa saja yang kalian puji kebaikannya maka dapat dipastikan ia masuk surga dan siapa saja yang kalian kecam dengan keburukan maka dapat dipastikan ia masuk neraka. (Para malaikat adalah saksi-saksi Allah di langit) sedangkan kalian adalah saksi-saksi Allah di muka bumi, kalian saksi-saksi Allah di muka bumi. (Allah mempunyai malaikat yang dapat berbicara dengan bahasa anak cucu Adam dalam menilai seseorang yang baik dan buruk)’.” Dalam riwayat lain, “Orang-orang mukmin adalah saksi-saksi Allah di muka bumi.” (HR Bukhari, Muslim, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Hakim, ath-Thayalusi, dan Ahmad)
10Al-Baihaqi berkata, “Adalah Aisyah sangat mendambakan untuk dapat memandikan Rasulullah. Dan sangat jelas bahwa mendambakan sesuatu kecuali pada hal-hal yang diperbolehkan dalam syariat.” Menurut saya, pembolehan itu ada dalam Masa’il Imam Ahmad (hlm. 149) dan merupakan pendapatnya seperti diriwayatkan oleh Abu Daud
Orang yang mengurusi proses memandikan mayat hendaklah orang-orang yang paling mengetahui sunnahnya, khususnya dari kalangan kerabat. Hal seperti ini yang dilakukan orang-orang dahulu ketika memandikan Nabi sallallahu alaihi wa sallam. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Aku telah memandikan Rasulullah, lalu aku perhatikan mayat itu seolah aku tidak dapati sesuatu. Adalah beliau sallallahu alaihi wa sallam sangat baik (jasadnya) ketika hidupnya juga saat matinya (HR Ibnu Majah, al-Hakim, al-Baihaqi)
Menurut saya, dalam hal ini pernyataan adz-Dzahabi tidak benar. Sebab hadis ini dari periwayatan Mu’ammar dari az-Zuhri dari Sa’id ibnul Musayyab dari Ali. Persanadan ini adalah menyambung (MUTASIL) lagi sangat masyhur. Sedangkan riwayat Sa’id ibnul Musayyab dari Ali adalah MAUSHUL(tersambung), juga seperti diisyaratkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam AT-TAHDZIB-nya. Bahkan ia mendakwa bahwa Sa’id ibnul Musayyab telah mendengar dari Umar. 11
Selain itu, karena mursal (riwayatnya terputus), asy-Syi’bi menyebutkan bahwa yang memandikan mayat Rasulullah bersama Ali bin Abi Thalib adalah al-Fadhl bin Abbas dan Usamah bin Zaid r.a. (HR Abu Daud)
Menurut saya, mengenai ucapan telah mendengar dari Umar, perlu disidik ulang. Sayang, di sini bukan tempatnya. Sedangkan mendengar dari Ali adalah sahih. Sebab Ali wafat tahun 40 H, dan ketika itu Sa’id berusia dua puluh delapan tahun. Jadi, sanad ini tak mungkin terputus.
1. Bagi orang yang memandikan mayat disediakan pahala yang besar namun dengan
dua syarat yang perlu diperhatikan.
PERTAMA, hendaklah merahasiakan apa yang telah dilihatnya dari sang mayat hal-hal yang mungkin kurang disenangi. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah,
“BARANG SIAPA MEMANDIKAN (MAYAT) MUSLIM DAN MERAHASIAKAN KEBURUKANNYA, MAKA ALLAH MENGAMPUNINYA EMPAT PULUH KALI. DAN BARANG SIAPA MENGGALI (UNTUK) KUBURNYA MAKA BAGINYA PAHALA BAGAIKAN PAHALA MEMBERIKAN TEMPAT BAGINYA HINGGA HARI KIAMAT. DAN BARANG SIAPA MENGAFANINYA, MAKA ALLAH AKAN MEMBERIKAN PAKAIAN BAGINYA DARI SUTRA MURNI SURGA.”(HR al-Hakim)
KEDUA, hendaknya seseorang dalam melakukannya (memandikan mayat) hanya semata-mata mencari rida Allah, tidak mengharapkan balasan apa pun dari segala urusan dunia. Hal ini mengingat ketetapan Allah yang disyariatkan-Nya, bahwa Dia tidak mau menerima segala peribadahan kecuali yang benar-benar murni ditujukan bagi-Nya.
Dalil tentang hal ini sangat banyak banyak baik dari Al-quran maupun As-Sunnah. Di antaranya seperti berikut.
Firman Allah Taala,
“KATAKANLAH, ‘SESUNGGUHNYA AKU INI HANYALAH SESEORANG MANUSIA SEPERTI KAMU, YANG DIWAHYUKAN KEPADAKU, “BAHWA SESUNGGUHNYA TUHAN KAMU ITU ADALAH TUHAN YANG ESA.’ BARANG SIAPA MENGHARAP PERJUMPAAN DENGAN TUHANNYA MAKA HENDAKLAH IA MENGERJAKAN AMAL SALEH DAN JANGANLAH IA MEMPERSEKUTUKAN SEORANG PUN DALAM BERIBADAH KEPADA TUHAN-NYA’.”(al-Kahfi: 110)
Firman Allah Taala,
“PADAHAL MEREKA TIDAK DISURUH KECUALI SUPAYA MENYEMBAH ALLAH DENGAN MEMURNIKAN KETAATAN KEPADA-NYA DALAM (MENJALANKAN) AGAMA DENGAN LURUS….”(al-Bayyinah: 5)
C. Sabda Rasulullah dari Umar bin Khaththab r.a.,
“SESUNGGUHNYA AMAL-AMAL PERBUATAN BERGANTUNG NIATNYA, DAN BAGI SETIAP ORANG APA YANG DINIATKANNYA. BARANG SIAPA HIJRAHNYA KARENA ALLAH DAN RASUL-NYA, MAKA HIJRAHNYA KEPADA ALLAH DAN RASUL-NYA, ATAU UNTUK MENIKAHI WANITA, MAKA HIJRAHNYA ADALAH KEPADA YANG IA HIJRAHI.”(HR Bukhari, Muslim, dan Ashabus-Sunan)
Sabda Rasulullah
“BERITA GEMBIRA BAGI UMAT INI (ISLAM) DENGAN DIANUGERAHI KEMULIAAN DAN KEMANTAPAN DALAM NEGARA, KEMENANGAN SERTA KETINGGIAN DALAM AGAMA. BARANG SIAPA DI ANTARA MEREKA MENGAMALKAN ANALAN AKHIRAT UNTUK MENDAPATKAN KESENANGAN KEDUNIAAN, MAKA BAGINYA TAK ADA KEBERUNTUNGAN DI AKHIRAT NANTI.”(HR Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Hakim)
1. Abu Umamah r.a. berkata,
“ADA SESEORANG DATANG KEPADA NABI DAN BERTANYA, “BERITAHUKANLAH KEPADAKU TENTANG SEORANG YANG BERPERANG DEMI MENCARI PAHALA DAN KESOHORAN NAMANYA, APAKAH PAHALA YANG DIPEROLEHNYA?’ BELIAU MENJAWABNYA, ‘TIDAK ADA PAHALA BAGINYA SEDIKIT PUN’ –SAMBIL MENGULANGNYA TIGA KALI. KEMUDIAN BELIAU BERSABDA, ‘SESUNGGUHNYA, ALLAH TAALA TIDAK AKAN MENERIMA AMALAN (APA PUN) KECUALI YANG MURNI DILAKUKAN HANYA MENCARI RIDA-NYA’.”(HR an-Nasa’i)
1. Sabda Rasulullah, sesungguhnya Allah berfirman,
“AKU TIDAK MEMBUTUHKAN PERSEKUTUAN. BARANG SIAPA MENGERJAKAN SUATU AMALAN YANG MEMPERSEKUTUKAN-KU DENGAN SELAIN-KU MAKA AKU TERBEBAS DARINYA DAN AMALANNYA BAGI YANG DIPERSEKUTUKAN (DENGAN-KU).”(HR Ibnu Majah dan Muslim)
1. Bagi orang yang telah memandikan mayat lebih disukai untuk mandi. Ini berdasarkan sabda Rasulullah, “Barang siapa yang selesai memandikan mayat maka hendaklah ia berwudu.” (HR Abu Daud, at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, ath-Thayalusi, dan Ahmad lewat beberapa jalur sanad yang semuanya dari Abu Hurairah r.a.)
Berdasarkan pemahaman lahiriahnya, perintah dalam hadis tersebut menunjukkan sesuatu yang wajib, tetapi saya tidak menyatakannya demikian. Hal ini karena melihat dua hadis berikut.
PERTAMA, Rasulullah bersabda, “Tidaklah ada keharusan bagi kalian yang memandikan mayat untuk mandi. Sesungguhnya mayat di antara kalian bukanlah najis, tetapi cukuplah bagi kalian mencuci tangan-tangan kalian.” (HR al-Hakim, al-Baihaqi dari Ibnu Abbas r.a.)
KEDUA, Ibnu Umar berkata, “Dahulu, ketika kami memandikan mayat, di antara kami ada yang mandi dan ada pula yang tidak mandi.” (HR ad-Daruquthni dan al-Khathib)
1. Tidaklah disyariatkan memandikan orang yang mati syahid korban perang, sekalipun ada kesepakatan bahwa orang tersebut dalam keadaan junub.’
1. Jabir r.a. berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Kuburkanlah mereka dengan kondisi berdarah’ (para syuhada Perang Uhud) dan mereka pun tidak memandikannya.” Dalam riwayat lain beliau bersabda, “Aku adalah saksi bagi mereka, kafanilah mereka dalam kondisi berdarah. Sesungguhnya, tidaklah seseorang yang luka berdarah (di jalan Allah) kecuali kelak datang di hari kiamat dengan luka darahnya berbau misk (parfum).” (HR Imam Bukhari, Abu Daud, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ahmad)
2. Anas bin Malik r.a. berkata, “Sesungguhnya, para syuhada dalam Perang Uhud tidak ada yang dimandikan dan mereka dikubur dengan lumuran darahnya serta tidak ada yang disalati (kecuali Hamzah).” (HR Abu Daud, al-Hakim, at-Tirmidzi, al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ahmad)
Menurut saya, riwayat ini sesuai penyelidikan saya adalah hasan karena sesuai dengan persyaratan Imam Muslim.
3. Abdullah bin az-Zubair r.a. mengisahkan para syuhada dalam Perang Uhud dan kematian Hanzhalah bin Abi Amir r.a. yang mati syahid, “Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya sahabat kalian ini telah dimandikan malaikat maka tanyakanlah kepada istrinya.’ Istrinya berkata, “Ia keluar rumah untuk berjihad dalam kondisi junub ketika mendengar suara yang mengerikan.’ Beliau kemudian bersabda, ‘Oleh karena itu, ia dimandikan oleh malaikat’.” (HR Ibnu Hibban, al-Hakim, dan al-Baihaqi)
4. Ibnu Abbas r.a. berkata, “Hamzah bin Abdul Muthalib dan Hanzhalah ibnur Rahim terbunuh dalam peperangan, sedang keduanya masih dalam kondisi junub. Lalu Rasulullah bersabda, “Aku telah melihat malaikat memandikan keduanya’.” (HR ath-Thabrani dan al-Hakim)
Lanjutan Pembahasan
LANJUTAN KETIKA IA MENGATAKAN
“KETIKA USAI PERANG UHUD, SELURUH KORBAN YANG MATI DALAM PEPERANGAN HENDAK DIBAWA UNTUK DIKEBUMIKAN DI BAQI’, TIBA-TIBA TERDENGAR SERUAN YANG DILANTUNKAN OLEH PESURUH RASULULLAH, ‘SESUNGGUHNYA RASULULLAH TELAH MEMERINTAHKAN KALIAN UNTUK MENGEBUMIKAN SELURUH KORBAN PERANG DI TEMPAT MEREKA MATI (UHUD).’ SETELAH IBUKU MEMBAWA DUA MAYAT, AYAHKU DAN PAMANKU, UNTUK DIKEBUMIKAN DI PEKUBURAN BAQI’, KEMUDIAN DIPERINTAHKAN UNTUK DIKEMBALIKAN.” DALAM RIWAYAT LAIN, “KAMI PUN KEMUDIAN MENGEMBALIKAN KEDUA MAYAT ITU UNTUK DIKEBUMIKAN DI TEMPAT KEDUANYA TERBUNUH.”(HR Ashabus Sunan, Ibnu Hibban, Ahmad, dan al-Baihaqi. Tirmidzi menyatakan, “Riwayat ini hasan dan sahih.” Sedangkan tambahannya ada dalam riwayat Imam Ahmad yang akan saya kemukakan nati pada nomor 80.)
Selain itu, ketika Aisyah r.a. mendengar bahwa saudaranya telah wafat di Wadi al-Habasyah yang dipindahkan dari tempat kematiannya, ia pun berkata, “Tidaklah ada yang merisaukan dan menyedihkanku, kecuali saya ingin agar ia dikebumikan di tempat ia wafat.” (HR. al-Baihaqi)
F. Hendaklah sebagian dari mereka menyegerakan untuk melunasi utang-utang si mayat dari harta yang dimilikinya. Apabila si mayat tidak meninggalkan harta atau tidak mampu, hendaklah negara yang menanggungnya bila terbukti sang mayat semasa hidupnya telah berusaha untuk melunasi seluruh utangnya. Kalau pemerintah atau negara tidak juga memperhatikan hal ini, maka diperbolehkan dari sebagian kaum muslimin untuk melunasinya dengan sukarela. Hal ini berdasarkan beberapa hadis sahih berikut.
PERTAMA, hadis yang dikisahkan dari Sa’ad ibnul Athwal r.a., “Saudaraku telah wafat. Ia meninggalkan tiga ratus dirham dan beberapa anak dan aku hendak memberikan harta peninggalan itu kepada anak-anaknya. Rasulullah memberitahuku, ‘Saudaramu terpenjara oleh utang-utangnya, karena itu pergilah engkau untuk melunasinya.’ Aku pun pergi melunasi utang saudaraku dan kembali menemui Rasulullah seraya kukatakan kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, aku telah tunaikan seluruh utang saudaraku dan tak tersisa kecuali dua dinar yang diakui oleh seorang wanita namun ia tidak mempunyai bukti yang cukup.’ Rasulullah menjawab, “Bayarkanlah pada wanita itu karena sesungguhnya ia benar’.” Dalam riwayat lain, “Sesungguhnya ia jujur.” (HR Ibnu Majah, Ahmad, dan al-Baihaqi)
KEDUA, hadis dari Samurah bin Junduub mengatakan bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam telah menyalati jenazah (dalam riwayat lain melakukan salat subuh). Ketika hendak beranjak pergi, beliau bertanya, “Apakah di sini ada salah seorang dari keluarga si Fulan?” (Saat itu, tak satu pun dari orang-orang yang hadir menjawab pertanyaan Rasulullah kendati beliau mengulang-ulang pertanyaan sampai tiga kali). Tiba-tiba berdirilah seorang di antara mereka dan berkata, “Ini dia orangnya…”, lalu berdiri seseorang dengan menyeret sarungnya dari belakang jamaah. Nabi sallallahu alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu diam ketika saya mengulang-ulang pertanyaanku tadi? Sungguh aku tidak menyebut-nyebutkan namamu kecuali untuk kebaikan. Sesungguhnya si Fulan -seorang dari kaumnya- tertawan karena utangnya untuk masuk surga, maka bila kalian menghendaki, biarkan dia untuk disiksa). Aku berharap keluarganya atau orang-orang yang mengurusinya agar bangkit dan membaya utang-utangnya (sehingga tidak ada lagi orang yang menagihnya).” (HR Abu Daud, an-Nasa’i, al-Hakim, al-Baihaqi, ath-Thayalusi, dan Ahmad)
KETIGA, Jabir bin Abdullah r.a., berkata, “Seseorang telah meninggal, lalu kami segera memandikannya, mengafaninya, dan memberinya wewangian, kemudian kami hadirkan jenazah ke tempat Maqam Jibril. Rasulullah mengizinkan kami untuk menyalatinya, lalu beliau mendatanginya bersama kami dengan beberapa langkah dan bersabda, “Barangkali kawan kalian ini masih mempunyai utang?” Orang-orang yang hadir menjawab, “Ya memang ada, dua dinar.” Beliau pun kemudian enggan menyalatinya dan bersabda, “Salatilah oleh kalian teman kalian ini.” Lalu berkatalah salah seorang dari kami bernama Abu Qatadah, “Ya Rasulullah, utangnya menjadi tanggunganku.” Beliau bersabda, “Dua dinar utangnya itu menjadi tanggunganmu dan murni dibayar dari hartamu, sedangkan si mayat terbebas dari utang itu?” Orang itu menjawab, “Ya, benar.” Rasulullah pun kemudian menyalatinya. Setiap kali Rasul bertemu Abu Qatadah, beliau menanyakan. Dalam riwayat lain disebut Rasulullah menjumpainya di kemudian hari seraya menanyakannya, “Apa yang telah kauperbuat dengan dua dinar utangnya?” Dijawab, “Telah aku lunasi, wahai Rasulullah.” Beliau kemudian bersabda, “Kini barulah kulitnya merasa dingin karena bebas dari siksaan.” (HR al-Hakim, al-Baihaqi, ath-Thayalusi, dan Ahmad)
A. Hadis ini memberi pengertian kepada kita bahwa pembayaran utang yang ditanggung Abu Qatadah adalah setelah Rasulullah menyalati sang mayat. Ini adalah muskil. Sebab, ada diriwayatkan lewat periwayatan sahih dari Abu Qatadah sendiri yang memberi tekanan bahwa ia melunasi utang sang mayat -yang menjadi tanggungannya- sebelum salat, seperti yang akan dijelaskan nanti. Bila periwayatan tersebut tidak terulang kejadiannya, maka periwayatan Abu Qatadah lebih sahih. Dalam riwayat Jabir terdapat seorang perawi bernama Abdullah bin Muhammad bin Aqil yang dipermasalahkan kalangan muhaditsin sehingga dinyatakan hasan periwayatannya oleh mereka, bila terbukti tidak adanya perselisihan. Wallahu a’lam.
B. Hadis-hadis tersebut memberi pengertian bahwa seseorang yang telah meninggal dunia akan mendapat faedah dengan terlunasi utang-utangnya sekalipun bukan dari anaknya. Selain itu, dilunasinya utang tersebut menyebabkan terhentinya siksaan yang menimpanya. Hal ini merupakan pengkhususan bagi makna umum redaksi firman Allah Taala berikut.
DAN BAHWASANYA SEORANG MANUSIA TIADA MEMPEROLEH SELAIN APA YANG TELAH DIUSAHAKANNYA.”(an-Najm: 39)
Juga terhadap sabda Rasulullah yang sangat mahsyur diriwayatkan Imam Bukhari, Musliim, dan Ahmad, “Apabila anak cucu Adam meninggal dunia maka terputuslah seluruh amalannya….”
Satu hal yang perlu digarisbawahi dalam hal ini bahwa ada perbedaan antara menanggung pelunasan utang sang mayat dengan bersedekah untuk sang mayat. Melunasi utang mayat lebih khusus ketimbang bersedekah untuknya. Sebagian ulama mencatat adanya ijma tersebut maka itulah kebenaran. Namun bila tidak, maka hadis-hadis sahih yang diriwayatkan berkenaan dengan sedekah itu maksudnya adalah dari anak kepada kedua orangtuanya. Hal demikian dikarenakan anak adalah bagian dari jerih payah kedua orangtuanya, seperti yang ditegaskan dalam nash. Jadi, mengqiyaskan perbuatan orang lain yang dinisbatkan kepada sang mayat tidaklah tepat. Itu adalah qiyasun ma’al fariqi (pengqiyasan yang berbeda atau berlawanan) seperti tampak dengan jelas. Begitu juga tidak dibenarkan bila mengqiyaskan sedekah dengan pelunasan utang, dikarenakan sedekah adalah umum sedangkan pelunasan utang adalah khusus. Barangkali masalah ini perlu penjelasan lebih detail dan rinci pada kesempatan lain.
Jabir bin Abdillah r.a. berkata bahwa ayahnya gugur dalam Perang Uhud dan meninggalkan enam orang putri serta utang 30 gantang atau 1500 kilo kurma dan para pemberi utang menuntut hak-hak mereka. “Maka ketika tiba panen kurma aku mendatangi Rasulullah dan berkata, ‘Ya Rasulullah, engkau telah mengetahui bahwa ayahku telah wafat pada Perang Uhud dan meninggalkan banyak utang dan aku berharap engkau dapat bertemu dengan para pemberi utang itu.’ Beliau bersabda, ‘Pergi dan isilah tiap-tiap bejana dengan kurma sesuai kualitasnya.’ Aku pun melakukan apa yang diperintahkan beliau. Kemudian aku memanggil beliau (dan mendatangi kami keesokan harinya). Ketika mereka memandang kepadanya mereka memujiku saat itu. Ketika beliau melihat apa yang telah mereka kumpulkan, aku menjaga ketiga bejana besar (lalu beliau mendoakan kurma-kurmanya agar diberkahi) seraya beliau duduk di dekatnya dan berkata kepadaku, ‘Panggillah mereka (para penagih utang)’.”
“Mereka tak henti-hentinya menimbang guna pembayaran utang itu hingga akhirnya Allah memenuhi apa yang diamanatkan ayahku. Aku sendiri benar-benar merasa rela dengan apa yang telah Allah penuhi berupa pelaksanaan amanat tersebut sehingga aku tak membawa sisa kurma untuk saudara-saudara perempuanku. Bahkan, demi Allah, aku serahkan semua bejana tersebut sampai terakhir aku lihat bejana yang ada di dekat Rasulullah tak tersisa sebuah pun. (Aku pun terus bersama Rasulullah hingga tiba waktu magrib, seraya kuberitakan dan beliau tertawa). Kemudian beliau berkata kepadaku, ‘Pergi dan datangilah Abu Bakar dan Umar lalu ceritakan kepada keduanya tentang hal ini.’ Kemudian keduanya berkata, ‘Sungguh kamu telah mengetahui apa yang diperbuat Rasulullah dan itu bakal terjadi’.” (HR Imam Bukhari, Abu Daud, ad-Darimi, Ibnu Majah, al-Baihaqi, dan Ahmad)
hadis dari Jabir bin Abdillah r.a.. Suatu ketika Rasulullah berdiri seraya berkhutbah, memuji-Nya, dan memuji siapa yang memang berhak untuk dipuji dan bersabda, ‘Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah maka tak ada kesesatan baginya, dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka tak ada yang dapat memberi-Nya petunjuk. Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah dan sebaik-baik bimbingan adalah petunjuk Muhammad. Sedangkan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah (dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan berkesudahan di neraka).” Apabila Rasulullah mengingatkan tentang hari kiamat, merahlah kedua matanya, meninggikan suaranya dan tampak marahnya seolah-olah bagaikan komandan pasukan. Beliau bersabda, “Baik pagi maupun sore, barang siapa meninggalkan harta maka itu adalah bagi ahli warisnya dan barang siapa meninggalkan anak-anak atau utang maka menjadi tanggunganku dan aku (lebih utama) daripada orang-orang mukmin.” (HR Imam Muslim, Imam Ahmad, Abu Na’im, an-Nasa’i, dan al-Baihaqi)
Aisyah r.a., berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Barang siapa dari umatku berutang dan berusaha untuk membayar utang tersebut, tetapi ia meninggal terlebih dahulu sebelum membayar utangnya itu, maka akulah walinya’.” (HR Imam Ahmad dan Abu Ya’la)
HAL-HAL YANG DIPERBOLEHKAN KETIKA MENINGGALNYA SESEORANG
Bagi siapa saja yang melayat, diperbolehkan membuka tutup wajah si mayat dan menciumnya, bahkan boleh menangisinya selama tiga hari. Hal ini berdasarkan hadis berikut.
A. Jabir bin Abdillah r.a., berkata, “Ketika ayahku gugur dalam perang Uhud, aku membuka penutup wajahnya lalu aku menangis. Para sahabat melarangku, akan tetapi Rasulullah membiarkanku. (Kemudian Nabi menyuruh untuk mengangkatnya). Hal itu telah membuat bibiku Fatimah menangis, lalu beliau bersabda, “Engkau menangis atau tidak menangis sesungguhnya malaikat terus saja menaunginya dengan kedua sayapnya hingga kalian mengangkatnya’.” (HR asy-Syaikhan, an-Nasa’i, al-Baihaqi, dan Imam Ahmad sedangkan tambahannya dari periwayatan Muslim dan an-Nasa’i)
B. Aisyah r.a., berkata, “Abu Baka r.a. tiba dengan menunggang kudanya dari tempat tinggalnya hingga turun dan memasuki masjid. (Dan Umar bin Khaththab sedang sibuk berbicara dengan umat). Abu Bakar tidak ikut menasihati umat, tetapi ia masuk menjumpai Aisyah r.a.. Kemudian ia mengusap para muka Nabi sallallahu alaihi wa sallam yang sedang sekujur tubuhnya ditutupi dengan kain lurik lalu dibuka tutup wajahnya danmenciumnya ( di antara kedua mata beliau) dan menangis, seraya berkata, ‘Ayah dan ibuku kukorbankan untukmu, wahai Nabi Allah. Allah tidak akan menyatukan atas engkau dua kematian. Adapun kematian yang kini engkau alami, maka telah engkau lakukan’.” Dalam riwayat lain, “Sesungguhnya engkau telah mati dengan kematian yang tidak ada kematian sesudahnya.” (HR Imam Bukhari, an-Nasa’i, Ibnu Hibban, & al-Baihaqi)
C. Aisyah r.a., berkata, “Suatu ketika Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam datang menjenguk Utsman bin Mazh’un yang telah wafat. Lalu beliau sallallahu alaihi wa sallam membuka penutup wajahnya dan menciumnya lalu menangis hingga aku lihat air mata beliau membasahi kedua pipinya.” (HR at-Tirmidzi dan al-Baihaqi)
D. Anas r.a. berkata, “Kami datang menjenguk Abu Saif –suami dari wanita yang menyusui Ibrahim (putra Rasulullah)– bersama Rasulullah. Beliau mengangkat Ibrahim dan menciuminya. Kemudian kami masuk melihat Ibrahim dan kedua mata Rasulullah mencucurkan air mata. Abdurrahman bin Auf ketika berkata kepada beliau, ‘Engkau wahai Rasulullah (menangis)?’ Beliau sallallahu alaihi wa sallam menjawab, ‘ Wahai putra Auf, sesungguhnya ini adalah rahmat (kasih sayang) yang kemudian diikuti dengan yang lain, sesungguhnya mata mencucurkan air mata dan hati ini bersedih, kita tidak mengucapkan kecuali pada yang diridai Allah, Rabb kita. Sesungguhnya kita, wahai Ibrahim berpisah denganmu adalah sangat sedih’.” (HR Imam Bukhari, Muslim, dan al-Baihaqi)
E. Abdullah bin Ja’far r.a. berkata, “Rasulullah telah menunda melayat keluagra Ja’far selama tiga hari kemudian beliau mendatangi mereka. Beliau sallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Janganlah kalian menangisi lagi saudaraku ini sesudah hari ini….’” (HR Abu Daud, an-Nasa’i dan Ahmad)
HAL-HAL YANG WAJIB DILAKUKAN KERABAT SANG MAYAT
Diharuskan para kerabat sang mayat, ketika mendengar berita kematian, melakukan dua perkara.
Pertama, bersabar dan rela dengan apa yang telah ditakdirkan oleh Allah. Hal ini berdasarkan firman-Nya,
“DAN SUNGGUH AKAN KAMI BERIKAN COBAAN KEPADAMU DENGAN SEDIKIT KETAKUTAN, KELAPARAN, KEKURANGAN HARTA, JIWA, DAN BUAH-BUAHAN. DAN BERIKANLAH BERITA GEMBIRA KEPADA ORANG-ORANG YANG SABAR, (YAITU) ORANG-ORANG YANG APABILA DITIMPA MUSIBAH MEREKA MENGUCAPKAN ‘INNAA LILLAAHI WA INNAA ILAIHI RAAJI’UN.’ MEREKA ITULAH YANG MENDAPATKAN KEBERKAHAN YANG SEMPURNA DAN RAHMAT DARI TUHAN MEREKA DAN MEREKA ITULAH ORANG-ORANG YANG MENDAPAT PETUNJUK.”(al-Baqarah: 155-157)
Juga berdasarkan hadis dari Anas r.a., ia berkata,
“SUATU KETIKA RASULULLAH SALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM MENUMPAI SEORANG WANITA TENGAH BERADA DI KUBURAN SAMBIL MENANGIS, LALU BELIAU BERKATA KEPADANYA, ‘BERTAKWALAH KEPADA ALLAH DAN BERSABARLAH ENGKAU’. WANITA ITU MENJAWAB, ‘DIAM, DAN BIARKANLAH AKU BEGINI, KARENA ENGKAU TIDAK TERKENA MUSIBAH SEPERTI MUSIBAH YANG MENIMPAKKU’.” ANAS BERKATA, “WANITA TERSEBU TIDAK MENGETAHUI SIAPA YANG MENEGURNYA. LALU DIBERITAKAN KEPADA WANITA ITU BAHWA YANG MENEGURNYA TADI ADALAH RASULULLAH. KEMUDIAN IA KATAKAN KEPADA RASULULLAH, ‘WAHAI RASULULLAH, SESUNGGUHNYA AKU TIDAK MENGETAHUI YANG MENEGURKU TADI ADALAH ENGKAU.’ RASULULLAH MENJAWAB DENGAN SABDANYA, ‘SESUNGGUHNYA SABAR ITU ADA PADA BENTURAN PERTAMA’.”(HR Imam Bukhari, Muslim, dan al-Baihaqi)
Selain itu, bersabar ketika mendapat ujian karena kematian anak adalah berpahala besar, seperti dijelaskan dalam banyak hadis.
1. Rasulullah bersabda, ‘Tidaklah dua orang muslim (suami-istri) yang ditimpa kematian tiga orang anaknya akan terjilat api neraka sedikit atau banyak, kecuali sebatas pembayaran dengan sumpah.”(HR Syaikhain, al-Baihaqi, dan Abu Hurairah)
2. Rasulullah bersabda, “Tidaklah dua orang muslim (suami-istri) yang ditimpa kematian tiga orang anaknya yang belum balig (dewasa) kecuali Allah memasukkan keduanya ke dalam surga-Nya dengan keutamaan dan rahmat-Nya.” Lebih lanjut beliau bersabda, “Dan neraka berada di depan pintu dari pintu-pintu surga, kemudian dikatakan kepada mereka. ‘Masuklah kalian ke dalam surga.’ Mereka menjawab, ‘Kami akan masuk surga hingga kedua orang tua kami datang.’ Lalu dikatakan kepada mereka, ‘Masuklah kalian ke dalam surga bersama bapak dan ibu kalian dengan keutamaan Allah dan rahmat-Nya’.” (HR an-Nasa’i dan al-Baihaqi)
3. Rasulullah bersabda, “Wanita mana saja yang ditimpa kematian tiga anaknya menjadikannya sebagai tabir penghalang baginya masuk ke dalam neraka. Seorang wanita bertanya, ‘Bagaimana bila dua anak?’ Beliau menjawab, “
4. Rasulullah bersabda, “Allah Taala tidak rela seorang mukmin yang ditinggal dua anak kekasih pilihannya lalu bersabar dan berharap akan pahala, kecuali Allah akan berikan balasan surga.” (HR an-Nasa’i dari Abdullah bin Amr)
diharuskan bagi kerabat sang mayat mengucapkan istirja’ (melafalkan ucapan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) seperti dijelaskan dalam firman Allah di atas dan menambahkannya dengan doa, “Ya Allah, anugerahkanlah pahala atas kesabaranku dalam menghadapi musibah dan berikanlah aku pengganti yang lebih baik darinya.” Seperti hadis dari Ummu Salamah r.a. ketika berkata, “Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah bersabda, “Tidaklah seorang muslim yang tertimpa musibah kemudian ia mengucapkan seperti yang diperintahkan Allah Taala (Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un), ‘Ya Allah berilah aku pahala dalam musibahku dan berilah aku pengganti yang lebih baik’, kecuali Allah akan mengganti baginya yang lebih baik’.” Ummu Salamah berkata, “Ketika Abu Salamah meninggal (yakni suaminya) aku berkata kepada diriku, ‘Siapakah dari kaum muslimin yang lebih baik dari Abu Salamah?’ Dialah keluarga yang pertama hijrah kepada Rasulullah dan aku pun telah mengucapkannya, kemucian Allah Taala memberiku ganti (seorang suami) yaitu Rasulullah.” Lebih jauh Ummu Salamah berkata, “Rasulullah menyuruh Hathib bin Abi Balta’ah meminangku untuk beliau sallallahu alaihi wa sallam, lalu aku katakan kepadanya, ‘Sesungguhnya aku mempunyai seorang anak perempuan dan aku seorang yang pencemburu.’ Rasulullah bersabda, ‘Mengenai anak perempuannya, kami akan berdoa semoga dapat mencukupinya dan aku akan berdoa semoga Allah menghilangkan sifat kecemburuannya’.” (HR Imam Muslim, al-Baihaqi dan Ahmad)
1. Tidaklah bertentangan dengan sikap sabar bila seorang wanita menolak berhias (berdandan) sama sekali karena belasungkawa atas kematian putranya atau siapa saja, bila tidak melebihi tiga hari lamanya, kecuali atas kematian suaminya, maka ia boleh berbelasungkawa dengan tidak berhias diri selama empat bulah sepuluh hari. Hal ini berdasarkan hadis dari Zainab binti Abi Salamah r.a., “Suatu ketika aku datang menemui Ummu Habibah, istri Nabi sallallahu alaihi wa sallam, ia berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Tidaklah dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan belasungkawa dengan tidak berhias lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya yaitu selama empat bulan sepuluh hari’.” (HR Imam Bukhari)
HAL-HAL YANG HARAM DILAKUKAN PARA KERABAT
1. Sesungguhnya, Rasulullah telah mengharamkan banyak sikap dalam menghadapi kematian atau dalam berbelasungkawa, namun masih saja sering dilakukan oleh kaum muslimin. Hal ini perlu diketahui untuk dihindari.
A. Meratapi mayat. Dalam hal ini banyak sekali hadis Rasulullah yang sahih menjelaskannya.
1. “Empat macam kebiasaan jahiliah yang masih dilakukan umatku dan tidak juga ditinggalkannya, yaitu berbangga-bangga dengan keturunan, mengingkari keturunan, minta turun hujan dengan ramalan bintang dan meratap.” Lebih jauh Rasulullah bersabda, “Dan bagi perempuan yang meratap, apabila tidak bertobat sebelum wafat maka di hari kiamat kelak ia akan memakai gamis dari pelangkin dan baju besi.” (HR Imam Muslim, al-Baihaqi, dan Abu Malik al-Asy’ari)
2. Rasulullah bersabda, “Dua hal yang ada pada manusia dan keduanya menyebabkan mereka kafir: mengingkari keturunan dan meratapi kematian.” (HR Muslim, al-Baihaqi, dan lainnya dari Abu Hurairah r.a.)
3. Ketika Ibrahim putra Rasulullah wafat, berteriaklah Usamah bin Zaid, maka Rasulullah menegurnya, “Yang demikian bukan dari ajaranku. Tidaklah orang yang beteriak dibenarkan dalam agama. Hati ini sedih dan kedua mata menangis, tetapi tidak menjadikan Allah murka.” (HR Ibnu Hibban, al-Hakim dari Abu Hurairah r.a.)
4. Ummu Athiyah r.a. berkata, “Rasulullah membaiat kami (kaum wanita) untuk tidak meratap. Namun di antara kami (yang dibaiat) tidak ada yang menepati janjinya kecuali lima orang, yaitu Ummu Sulaim, Ummu Alaa’, putri Abi Sabrah, istri Mu’adz atau putri Abi Sabrah, dan istri Mu’adz r.a.” (HR Bukhari, Muslim, dan al-Baihaqi)
5. Anas bin Malik r.a. berkata, “Ketika Umar bin Khathtahab r.a. tertikam, Hafshah (putrinya) menangisinya dengan suara keras. Berkatalah Umar kepadanya, ‘Wahai Hafshah, tidaklah engkau mendengar Rasulullah telah bersabda, ‘Orang yang diratapi itu disiksa!’ Dan Suhaib pun meratapi pula sambil berkata, ‘Wahai saudaraku, wahai sahabatku.’ Umar pun kemudian berkata kepadanya, “Wahai Suhaib, tidaklah engkau mendengar Rasulullah telah bersabda, ‘Sesungguhnya sang mayat disiksa dengan sebagian ratapan keluarganya”), (dan dalam riwayat lain, “Disiksa di dalam kuburnya karena ratapan kepadanya.”) (HR Bukhari, Muslim, al-Baihaqi, dan Ahmad)
6. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya sang mayat disiksa karena ratapan keluarga kepadanya.” (Dalam riwayat lain disebutkan, “Sang mayat disiksa di dalam kuburnya dikarenakan ratapan keluarganya.” (HR Syaikhan dan Ahmad dari Ibnu Umar)
7. Rasulullah bersabda, “Siapa saja yang diratapi akan disiksa dengan ratapan itu (pada hari kiamat nanti).7” (HR Bukhari, Muslim, al-Baihaqi, dan Ahmad)
Dalam hadis Umar kedua, yang disebutkan dengan lafal “sebagian ratapan”.
Kemudian zahir hadis ini menampakkan kemuskilan karena secara lahiriah berbenturan dengan kaidah syar’iyah yang telah baku dan menjadi ketetapan. Di antaranya dengan firman-Nya, “WALAA TAZIRUU WAAZIRATUW WIZRA UKHRAA” (al-An’am: 164; al-Isra’: 15; Fathir: 18; dan az-Zumar: 7). Dalam masalah ini ulama berbeda pendapat hingga terbagi menjadi delapan kelompok. Namun ada dua yang dekat dengan kebenaran.
PERTAMA, yang dipahami jumhur ulama dalam hal ini mereka mengatakan bahwa apa yang dimaksud hadis-hadis tersebut adalah terhadap mereka yang mewasiatkan untuk diratapi bila ia mati nanti. Atau tidak mewasiatkan untuk tidak diratapi, sedangkan ia mengetahui kebanyakan manusia mengamalkannya seperti adanya. Oleh karenanya, Abdullah al-Mubarak mengatakan, “Apabila ia pernah melarang semasa hidupnya, kemudian mereka tetap saja melakukannya maka ia tidak terancam hukuman apa pun.” (Lihat UMDATUL-QARI’ IV/79)
KEDUA, makna azab dalam hadis-hadis tersebut adalah merasakan kepedihan dan kesakitan dikarenakan sedih mendengar ratapan kepiluan dan kesedihan hati mereka (kerabatnya) yang menangisi. Dan hal itu hanya terjadi di alam barzah, bukan di akhirat nanti. Ath-Thabari cenderung pada pendapat ini, yang juga diikuti Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim dan lainnya. Mereka mengatakan, “Yang dimaksud di dalam hadis-hadis itu bukanlah Allah Taala akan mengazab sang mayat disebabkan ratapan keluarganya kepadanya. Dalam hal ini kata azab lebih umum daripada ‘IQAAB, seperti yang dimaksudkan dalam sabda beliau yang lain “ASSAFARU QITH’ATUN MINAL-‘ADZAAB” (bepergian adalah sebagian dari kesengsaraan). Jadi, yang dimaksudkan di sini bukanlah ‘IQAAB atau hukuman akibat dari suatu dosa yang dilakukan. Namun maknanya adalah azab atau kesengsaraan atau ketidaknyamanan. (Lihat MAJMU’ATUR-RASAA’ILIL-MUNIRIYYAH, II/209 dan Ibnul Qayyim di dalam AT-TAHDZIB IV/290-293).
Adapun yang menguatkan pendapat kedua ini adalah hadis-hadis yang tercantum dalam nomor 5 dan 6 yang dalam redaksinya disebutkan dengan jelas bahwa azab tersebut di dalam kubur. Saya sendiri beberapa waktu lamanya pernah berpendapat demikian, tetapi setelah saya jumpai dalil yang bertentangan dengannya saya cenderung menguatkan pendapat kedua adalah dha’if disebabkan bertentangan dengan hadis sahih yang saya cantumkan dalam nomor urut ke-7 yang dengan tegas menyatakan bahwa azab tersebut kelak di hari kiamat. Kenyataan demikian menegaskan pula ketidakmungkinan menakwilkannya dengan penakwilan seperti yang dikemukakan oleh kelompok kedua (Thabari dkk.).
Oleh karena itu, menurut saya yang rajih adalah pendapat jumhur. Kemudian tidaklah bertentangan dengan apa yang dipahami oleh jumhur dengan hadis-hadis yang menyebutkan bahwa azab tersebut di alam akhirat nanti. Dari dari penyatuan tersebut menjadilah maknanya bahwa sang mayat akan tersiksa di alam kuburnya dan kelak pula di hari kiamat. Dengan demikian, tidak lagi ada kemuskilan, insya Allah.
Cukup banyak hadis yang berkaitan dengan persoalan ini dan insya Allah akan saya sebutkan pada kesempatan lain.
B. Memukul-mukul pipi dan merobek-robek baju. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah, “Bukanlah dari golongan kami siapa-siapa yang memukul-memukul pipi (ketika ditimpa kematian), orang-orang yang suka merobek-robek pakaiannya dan yang mengeluh serta meratapi seperti kebiasaan jahiliah.” (HR Bukhari, Muslim, Ibnu Jarud, al-Baihaqi dan lainnya dari Abdullah Ibnu Mas’ud r.a.)
C.Mencukur rambut kepala. Hal ini berdasarkan hadis dari Abu Burdah bin Abi Musa. Ia berkata, “Abu Musa al-Asy’ari jatuh sakit hingga tak sadarkan diri sementara kepalanya berada di pangkuan istrinya. Lalu berteriaklah istrinya hingga tak dapat mengendalikand dirinya. Ketika Abu Musa siuman, ia berkata, ‘Sungguh aku terbebas dari orang yang Rasulullah telah terbebas darinya. Sesungguhnya Rasulullah terbebas dari kebiasaan wanita yang berteriak-teriak ketika tertimpa musibah dan wanita yang biasa mencukur rambutnya serta merobek-robek bajunya’.” (HR Bukhari, Muslim, an-Nasa’i, dan al-Baihaqi)
D.Menguraikan rambut. Hadis ini dari seorang wanita yang pernah ikut berbaiat kepada Rasulullah dia berkata, “Apa yang dibaiatkan Rasulullah kepada kami dalam berbuat kebaikan di antaranya agar kami tidak melanggar larangan beliau dan tidak menato waah, tidak menjerit-jerit dengan berucap celaka… celaka… serta tidak pula merobek-robek baju dan tidak menggunduli rambut.” (HR Abu Daud dan al-Baihaqi)
E. Membiarkan rambut lebat (brewok), hal ini biasa dilakukan sebagian laki-laki selama masa berkabung dan sesudah itu barulah ia kembali mencukurnya.
Boleh jadi dalam hal ini ada kesamaan dengan kebiasaan yang dilakukan wanita di zaman jahiliah berupa menguraikan rambutnya pada masa berkabung. Padahal amalan seperti ini merupakan perbuatan bid’ah. Rasulullah telah bersabda, “Setiap yang diada-adakan adalah sesat dan setiap yang sesat neraka kesudahannya.” (HR an-Nasa’i dan al-Baihaqi)
F. Menyiarkan berita kematian melalui pengeras suara dan semisalnya. Sebab, cara menyiarkan seperti ini termasuk menyebarluaskan berita. Hudzaifah Ibnul Yaman r.a. berkata, “Apabila ia mengetahui ada berita kematian ia mengatakan, ‘Janganlah berazan (mengumandangkan) berita itu karena sesungguhnya aku khawatir yang demikian termasuk dari menyerukan berita kematian. Aku mendengar beliau sallallahu alaihi wa sallam telah melarangnya.’” (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan al-Baihaqi)
Sementara itu, makna AN-NA’YU secara bahasa bermakna ‘penyiaran berita kematian’. Dengan demikian berarti mencakup pemberitaan kematian secara umum. Meskipun begitu, telah terbukti kesahihan beberapa hadis yang membolehkan salah satu cara pemberitaan kematian. Dalam hal ini para ulama telah membatasi kemutlakan larangan tersebut dengan hadis ini, seperti pendapat berikut, “Sesungguhnya yang dimaksud dengan an-na’yu adalah penyebaran berita yang menyerupai kebiasaan yang pernah ada di zaman jahiliah, yakni berupa teriakan di depan pintu rumah penduduk dan di pasar-pasar, seperti akan dijelaskan nanti.”
LANJUTAN HR MUSLIM
LANJUTAN HR MUSLIM
Dalam hadis yang diriwayatkan al-Hakim, Ibnu Majah, dan Ahmad, Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang meninggal sedang dia masih berutang, maka di sana tidak lagi berlaku dinar ataupun dirham, tetapi yang ada adalah kebaikan dan keburukan.”
Diriwayatkan ath-Thabrani dalam al-Kabir sebagai berikut. “Utang itu ada dua macam. Barang siapa yang mati sedang ia berniat membayarnya, maka akulah sebagai walinya. Sedangkan siapa yang mati tetapi ia tidak berniat membayarnya, maka yang akan diambil dari semua kebaikannya, di mana pada saat itu tak ada dinar ataupun dirham.”
Jabir bin Abdillah berkata, “Pada suatu malam menjelang terjadinya Perang Uhud, ayah memanggilku seraya berkata, ‘Tidaklah aku melihat diriku kecuali sebagai orang yang pertama mati terbunuh dari para sahabat Rasulullah dan aku tidak meninggalkan sesudahku yang lebih mulia kau bagiku kecuali Rasulullah. Aku meninggalkan utang maka bayarkanlah dan saling berpesanlah dengan kebaikan bersama saudaramu.’ Maka keesokan harinya, ternyata dialah orang pertama yang mati terbunuh…” (HR Imam Bukhari)
1. Hendaklah menyegerakan untuk berwasiat sebagaimana sabda Rasulullah,
“TIDAKLAH BAGI SESEORANG ITU HAK UNTUK MENUNDA LEBIH DARI DUA MALAM SEDANG IA MEMPUNYAI SESUATU YANG INGIN DIWASIATKANNYA, KECUALI WASIAT TERTULIS (TERLETAK) DI SAMPING KEPALANYA.” IBNU UMAR BERKATA, “TIDAKLAH SETIAP MALAM BERLALU SEJAK AKU MENDENGAR SABDA RASULULLAH SALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM TERSEBUT KECUALI AKU TELAH SIAPAKAN WASIATKU.”(HR Bukhari, Muslim, dan Ashabus Sunan)
1. Wajib baginya berwasiat untuk para kerabat yang tidak mewarisinya, berdasarkan firman Allah Taala,
“DIWAJIBKAN ATAS KAMU BILA SEORANG DI ANTARA KAMU KEDATANGAN (TANDA-TANDA) MAUT, JIKA IA MENINGGALKAN HARTA YANG BANYAK, BERWASIAT UNTUK IBU-BAPAK DAN KARIB KERABATNYA SECARA MAKRUF/DENGAN CARA YANG BAIK, (SEBAGAI) KEWAJIBAN BAGI ORANG-ORANG YANG BERTAKWA.”(al-Baqarah: 180)
1. Ia berhak berwasiat dengan sepertiga hartanya dan tidak boleh lebih dari itu. Bahkan lebih afdal kurang dari sepertiga berdasarkan hadis Sa’ad bin Abi Waqqash r.a., “Aku bersama Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam ketika melakukan haji wada’ dan aku menderita sakit yang nyaris mengantarkanku pada kematian. Rasulullah menjengukku dan aku katakan kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, aku ini dianugerahi Allah harta dan tak ada pewaris kecuali seorang anak putri. Apakah aku boleh berwasiat dua per tiga dari hartaku?’ Beliau menjawab, ‘Tidak.’ Aku bertanya lagi, ‘Bagaimana dengan setengahnya?’ Beliau menjawab, ‘Juga tidak.’ ‘Dan bagaimana bila sepertiga hartaku?’ Beliau menjawab, ‘Ya sepertiga saja, dan sepertiga adalah banyak. Sesungguhnya wahai Sa’ad, bila engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya adalah lebih baik ketimbang engkau meninggalkan mereka dalam kondisi kemiskinan hingga meminta-minta kepada orang-orang.’ Kemudian beliau bersabda dengan menunjuk tangannya, ‘Sesungguhnya engkau Sa’ad, engkau tidak menafkahkan sesuatu dengan mengharapkan keridaan Allah Taala kecuali engkau diganjar pahalanya meskipun makanan yang engkau suapkan ke mulut istrimu.’ Sa’ad berkata, ‘Lebih dari sepertiga diperbolehkan.’ ” (HR Imam Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Ibnu Abbas berkata, “Aku berharap kalau saja manusia dapat mengekang dari bersedekah sepertiga menjadi seperempat ketika berwasiat. Sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam telah menyatakan bahwa sepertiga adalah banyak.”
1. Hendaklah seseorang ketika berwasiat disaksikan oleh dua orang muslim yang adil (dapat dipercaya). Bila tidak maka dua orang dari nonmuslim yang terpercaya, seperti yang ditegaskan Allah Taala dalam Al-Quran,
“HAI ORANG-ORANG YANG BERIMAN, APABILA SALAH SEORANG DARI KAMU MENGHADAPI KEMATIAN SEDANG DIA AKAN BERWASIAT, MAKA HENDAKLAH (WASIAT ITU) DISAKSIKAN OLEH DUA ORANG YANG ADIL DI ANTARA KAMU, ATAU DUA ORANG YANG BERLAINAN AGAMA DENGAN KAMU, JIKA KAMU DALAM PERJALANAN DI MUKA BUMI LALU KAMU DITIMPA BAHAYA KEMATIAN. KAMU TAHAN KEDUA SAKSI ITU SESUDAH SEMBAHYANG (UNTUK BERSUMPAH), LALU MEREKA KEDUANYA BERSUMPAH ATAS NAMA ALLAH JIKA KAMU RAGU-RAGU. (DEMI ALLAH) KAMI TIDAK AKAN MENUKAR SUMPAH INI DENGAN HARGA YANG SEDIKIT (UNTUK KEPENTINGAN SESEORANG) WALAUPUN DIA KARIB KERABAT DAN TIDAK (PULA) KAMI MENYEMBUNYIKAN PERSAKSIAN ALLAH; SESUNGGUHNYA KAMI KALAU DEMIKIAN TENTULAH TERMASUK ORANG-ORANG YANG BERDOSA. JIKA DIKETAHUI BAHWA KEDUA (SAKSI ITU) MEMPERBUAT DOSA, MAKA DUA ORANG LAIN DI ANTARA AHLI WARIS YANG LEBIH BERHAK YANG LEBIH DEKAT KEPADA ORANG YANG MENINGGAL (MEMAJUKAN TUNTUTAN) UNTUK MENGGANTIKANNYA, LALU KEDUANYA BERSUMPAH ATAS NAMA ALLAH, ‘SESUNGGUHNYA PERSAKSIAN KAMI LEBIH LAYAK DITERIMA DARIPADA KESAKSIAN KEDUA SAKSI ITU, DAN KAMI TIDAK AKAN MELANGGAR BATAS, SESUNGGUHNYA KAMI KALAU DEMIKIAN, TENTULAH TERMASUK ORANG-ORANG YANG MENGANIAYA DIRI SENDIRI. ITU LEBIH DEKAT (UNTUK MENJADIKAN PARA SAKSI) MENGEMUKAKAN PERSAKSIANNYA MENURUT APA YANG SEBENARNYA DAN (LEBIH DEKAT UNTUK MENJADIKAN MEREKA) SESUDAH MEREKA BERSUMPAH. DAN BERTAKWALAH KEPADA ALLAH DAN DENGARKANLAH (PERINTAH-NYA) ALLAH TIDAK MEMBERI PETUNJUK KEPADA ORANG-ORANG YANG FASIK.”(al-Maidah: 106-108)
1. Adapun memberikan wasiat kepada kedua orang tua dan kerabat yang menjadi ahli waris tidaklah diperbolehkan. Sebab hal ini telah dimansukh-kan oleh ayat-ayat waris, dan telah ditegaskan oleh Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam dengan rinci, seperti yang dikemukakan beliau ketika dalam khutbah Wada’, “Sesungguhnya Allah Taala telah memberikan kepada setiap pemilik hak akan haknya, maka tidak ada (hak) bagi ahli waris mendapatkan wasiat.”(HR Abu Daud, Tirmidzi, dan al-Baihaqi)
Dalam hal ini yang memansukh (membatalkan) adalah Al-Quran, sedangkan, hadis Nabi hanyalah sebagai penjelas seperti yang tampak pada Khutbah Wada’, kebalikan dari apa yang diduga kebanyakan orang bahwa yang me-mansukh adalah hadis. Selain itu, di kalangan orang sekarang ada yang mencoba menabur keraguan seraya mendebat bahwa hadis itu adalah riwayat ahad yang tidak ada kekuatan untuk memansukh Al-Quran. Dakwaan tersebut memang batil sebab yang sebenarnya adalah bahwa hadis ahad dapat pula memansukh Al-Quran dengan ketentuan bahwa hadis tersebut mutawatir. Inilah pemahaman yang diterima jumhur ulama. Namun dalam masalah ini yang memansukh adalah Al-Quran bukan As-Sunnah. Lihat, IRWA’UL-GHALIL (hadis nomor 16).
1. Diharamkan bagi seseorang mewasiatkan sesuatu yang berdampak negatif atau membuat mudarat, seperti mewasiatkan untuk tidak memberikan hak waris kepada salah seorang ahli waris, atau mewasiatkan untuk mengutamakan salah seorang ahli waris dari yang lainnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Taala yang ditegaskan-Nya dalam surat An-Nisa ayat 7-12.
Juga berdasarkan sabda Rasulullah,
“JANGANLAH DI ANTARA KALIAN MENIMPAKAN MUDARAT KEPADA YANG LAIN. BARANG SIAPA MENIMPAKAN MUDARAT KEPADA ORANG LAIN, MAKA ALLAH AKAN MENIMPAKAN MUDARAT KEPADANYA, DAN BARANG SIAPA YANG MEMUSUHI (SESEORANG) MAKA ALLAH AKAN MEMUSUHINYA.” (HR ad-Daruquthni. Al-Hakim mengatakan, “Riwayat ini sahih sesuai dengan persyaratan Imam Muslim. Kemudian disetujui oleh adz-Dzahabi. Dinilai hasan sanadnya oleh Imam Nawawi dalam hadis Arba’in-nya. Demikian juga Ibnu Taimiyah dalam al-Fatawa, mengingat banyaknya saksi penguat dan sanadnya yang beraneka ragam. Ibnu Rajab pun telah menyebutkannya demikian dalam mensyarah hadis Arba’in. Saya sendiri mengeluarkannya dalam Irwaa’ul-Ghalil.)
1. Wasiat yang ada unsur kezalimannya adalah batil dan tertolak berdasarkan sabda Rasulullah,
“SIAPA SAJA YANG MENGADA-ADA DALAM PERKARA (AJARAN)-KU, YANG TIDAK TERMASUK DARINYA, MAKA ITU TERTOLAK.”(HR asy Syaikhan dalam Shahih-nya, dan Imam Ahmad, dll.)
Hal ini juga berdasarkan hadis yang dikisahkan oleh Imran bin Husain bahwa seseorang telah memerdekakan enam orang budak laki-lakinya di saat ia mendekati kematiannya. Kemudian ahli warisnya dari pedalaman mendatangi Rasulullah memberitahukan kepada beliau apa yang telah dilakukan orang itu. Rasulullah bertanya, “Apakah ia melakukan yang demikian? Kalau aku mengetahui -sejak awalnya- maka aku tidak akan menyalatinya.” Imran berkata, “Kemudian Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam mengemudi di antara keenam budak itu dan memilih dua orang untuk dimerdekakan dan mengembalikan empat budak yang lain untuk dimiliki ahli warisnya.” (HR Imam Ahmad, Imam Muslim, ath-Thahawi, dan al-Baihaqi)
1. Mengingat kebanyakan orang, khususnya pada masa sekarang, melakukan berbagai bid’ah dalam ajaran agama, terlebih dalam masalah jenazah, maka sudah merupakan keharusan seorang muslim untuk mewasiatkan kelak mayatnya diurus dan dikebumikan sesuai dengan ajaran Rasulullah, sesuai firman-Nya:
“HAI ORANG-ORANG YANG BERIMAN, PELIHARALAH DIRIMU DAN KELUARGAMU DARI API NERAKA YANG BAHAN BAKARNYA ADALAH MANUSIA DAN BATU, PENJAGANYA MALAIKAT-MALAIKAT YANG KASAR; YANG KERAS; YANG TIDAK MENDURHAKAI ALLAH TERHADAP APA YANG DIPERINTAHKAN-NYA KEPADA MEREKA DAN SELALU MENGERJAKAN APA YANG DIPERINTAHKAN.”(at-Tahrim: 6)
Oleh karena itu, para sahabat Rasulullah pada saat menghadapi kematian mewasiatkan kepada keluarganya agar dikebumikan dan diurus jenazah sesuai dengan sunnah Rasulullah. Contoh konkret tentang ini banyak kita jumpai dalam riwayat-riwayat seperti berikut.
a. Abu Burdah berkata, “Abu Musa r.a. telah berwasiat menjelang wafatnya, “Bila kalian membawa jenazahku nanti maka percepatlah jalan kalian, dan janganlah ada yang mengiringi jenazahku dengan membawa setanggi. Jangan pula kalian membuat batas di dalam liang lahatku nanti antara jasadku dengan tanah dan jangan ada yang membangun di atas kuburku nanti. Dan aku bersaksi bahwa aku bebas dari ratapan yang berupa mencukur rambutnya atau yang memukul-mukul pipinya, atau yang merobek-robek pakaiannya.’ Dikatakan kepadanya, ‘Apakah engkau pernah mendengar sesuatu?’ Abu Musa menjawab, ‘Ya benar, aku telah mendengarnya dari Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam.’ ” (HR Imam Ahmad, al-Baihaqi, dan Ibnu Majah)
b. Dari Hudzaifah r.a. berkata, “Apabila aku mati nanti, janganlah ada seorang di antara kalian yang melakukan sesuatu terhadapku karena aku takut kalau itu ratapan dan aku mendengar Rasulullah melarang meratapi mayat.” (HR Imam Tirmidzi. Telah diriwayatkan juga oleh perawi sanad lain, yang akan dikemukakan nanti dalam masalah ke-47).
Imam Nawawi dalam karyanya AL-ADZKAAR berkata, “Adalah disukai secara muakkad (pasti) seseorang sebelum wafatnya mewasiatkan supaya meninggalkan kebiasaan yang termasuk bid’ah di dalam pengurusan jenazah dan hendaknya ia menegaskan wasiat itu.”
MENALKINI ORANG YANG SEDANG MENGHADAPI SAKARATUL MAUT
Apabila seseorang tengah menghadapi sakaratul maut, hendaknya orang-orang yang ada di sekitarnya melakukan hal-hal sebagai berikut.
A. Menalkin dengan syahadat, sesuai sabda Rasulullah, “Talkinilah orang yang akan wafat di antara kalian dengan, ‘LAA ILAAHA ILLALLAAH.’ Barang siapa yang pada akhir ucapannya, ketika hendak wafat,‘LAA ILAAHA ILLALLAAH,’ maka ia akan masuk surga suatu masa kelak, kendatipun akan mengalami sebelum itu musibah yang mungkin menimpanya.”
Rasulullah dalam hadis lain bersabda,
“SIAPA SAJA YANG WAFAT SEDANG IA MEYAKINI BAHWASANYA TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH, MAKA IA MASUK SURGA.”
“BARANG SIAPA YANG MENINGGAL SEDANGKAN IA TIDAK MENYEKUTUKAN TUHAN DENGAN SESUATU APA PUN, MAKA IA MASUK SURGA.”(HR Imam Muslim)
B. Hendaklah mendoakannya dan janganlah mengucapkan di hadapannya kecuali kata-kata yang baik, berdasarkan hadis yang diberitakan oleh Ummu Salamah bahwa Rasulullah telah bersabda,
“APABILA KALIAN MENDATANGI ORANG YANG SEDANG SAKIT ATAU ORANG YANG HAMPIR MATI, MAKA HENDAKLAH KALIAN MENGUCAPKAN PERKATAAN YANG BAIK-BAIK KARENA PARA MALAIKAT MENGAMINI APA YANG KALIAN UCAPKAN.”(HR Muslim, al-Baihaqi, dan lainnya)
1. Menalkin yang dimaksud bukanlah melafalkan syahadat dan memperdengarkannya di hadapan orang yang sudah mati, akan tetapi yang diperintahkan adalah membimbing orang yang sedang sekarat untuk mengucapkannya. Bukan seperti yang banyak dilakukan orang di masa sekarang, mereka berkumpul membaca tahmid dan takbir serta LAA ILAAHA ILLALLAAH. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah yang dikisahkan Anas bin Malik r.a., ia berkata, “Suatu ketika Rasulullah sedang menengok salah seorang yang sedang sakit keras di kalangan Anshar, lalu berkatalah Rasulullah kepada orang tersebut, ‘Wahai Paman, ucapkanlah tidak ada tuhan selain Allah.’ Orang itu bertanya, ‘Kerabat ibumu ataukah saudara ayahmu?’ Beliau menjawab, ‘Bahkan kerabat ibuku.’ Orang sakit itu bertanya lagi, ‘Apakah lebih baik untukku mengucapkan LAA ILAAHA ILLALLAAH?’ Nabi menjawab, ‘Benar’.” (HR Ahmad dengan sanad yang sahih sesuai persyaratan Muslim)
2. Adapun pembacaan surat Yasin di hadapan orang yang sudah meninggal sambil menghadapkannya ke arah kiblat, tidak ada satu pun hadis sahih yang dapat dijadikan panutan. Bahkan Sa’id ibnul Musayyab (imam para tabi’in, PENJ) menyatakan makruh menghadapkannya ke arah kiblat. Sa’id pernah berkata sambil mengingkari, “Bukankah (sang mayat) seorang muslim?”
Kemudian Ibnu Abi Syaibah dalam AL-MUSHANNIF (IV/76) mengisahkan dari Zar’ah bin Abdurrahman bahwa ia telah menyaksikan Sa’id ibnul Musayyab yang tengah sakit dan dii sisinya Abu Salamah bin Abduraahman.
1. Tidaklah dilarang bagi seorang muslim mendatangi orang kafir yang tengah menghadapi kematian dengan tujuan untuk menawarkan keislaman kepadanya, dengan harapan ia akan memeluk Islam. Hal ini berdasarkan pada hadis Anas r.a., ia berkata, “Ada seorang anak Yahudi yang dahulu pernah menjadi pelayan Rasulullah. Ketika ia sakit, beliau menjenguknya. Beliau duduk di dekat kepala anak itu dan berkata kepadanya, ‘Masuklah ke dalam agama Islam,’ sambil melihat ke arah ayahnya yang berada di dekatnya. Sang ayah berkata kepada putranya yang sedang sakit itu, ‘Patuhilah Rasulullah.’ Maka anak itu memeluk agama Islam. Ketika keluar Rasulullah bersabda, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak itu dari api neraka.’ Dan ketika mendengar ia wafat, beliau memerintahkan para sahabat, ‘Salatilah sahabat kalian itu’.” (HR Bukhari, al-Baihaqi dan Ahmad)
HAL-HAL YANG HARUS DILAKUKAN SETELAH SESEORANG MENINGGAL
1. Apabila menjumpai seseorang telah menghembuskan nafasnya yang terakhir, maka diharuskan untuk melakukan hal-hal sebagai berikut.
A. Segeramemejamkan mata sang mayat dan mendoakannya.Tindakan seperti ini berdasarkan hadis yang dikisahkan Ummu Salamah r.a., ia berkata, “Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam mendatangi Abu Salamah yang telah menghembuskan nafaasnya yang terakhir dengan kedua mata terbelalak, lalu beliau memejamkan mata Abu Salamah dan bersabda, “Sesungguhnya apabila roh telah direnggut (hendaknya) diikuti dengan pemejaman mata.’ Pada saat keluarga sang mayat gaduh, beliau pun bersabda, ‘Janganlah kalian mengatakan kecuali yang baik-baik, karena sesungguhnya para malaikat mengamini apa yang kalian ucapkan.’ Rasulullah berkata seraya mendoakan Abu Salamah, ‘Ya Allah, ampunilah dosa dan kesalahan Abu Salamah, tinggikanlah derajatnya di kalangan orang-orang yang diberi petunjuk dan janganlah keturunan sesudahnya termasuk orang-orang yang binasa. Ampunilah kami dan dia, lapangkanlah kuburnya serta berilah cahaya di dalamnya’.” (HR Imam Muslim, Ahmad, dan al-Baihaqi)
B. Menutup seluruh badan sang mayat dengan pakaian (kain), selain pakaian yang dikenakannya. Yang demikian berdasarkan hadis Aisyah r.a., “Ketika Rasulullah wafat, seluruh jasadnya ditutupi dengan kain lurik (nama jenis kain buatan Yaman).” (HR Bukhari, Muslim, dan al-Baihaqi)
C.Berbeda halnya bila seseorang yang meninggal sedang mengenakan kain ihram (sedang menunaikan ibadah haji atau umrah). Untuk kasus ini hendaknya seluruh jasadnya ditutupi kecuali bagian kepada dan wajahnya berdasarkan hadis yang dikisahkan oleh Ibnu Abbas r.a., ia berkata, “Pernah seseorang yang tengah wuquf di Arafah lalu terjatuh dari tunggangannya hingga tulang lehernya patah dan meninggal dunia. Kemudian Rasul bersabda seraya memerintahkan, ‘Mandikanlah mayatnya dengan air sidrin (nama daun sebuah pohon) dan kafanilah ia dengan dua helai kain ihramnya dan janganlah diberi wangi-wangian (parfum); dan jangan pula ditutupi kepala dan wajahnya karena kelak ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dengan bertalbiah’.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Na’im, dan al-Baihaqi)
D.Hendaknya mengerakan pengurusan pemakamannya bila telah nyata kematiannya. Hal demikian berdasarkan sabda Rasulullah yang dikisahkan Abu Hurairah r.a., “Segerakanlah pemakaman jenazah….”
E. Hendaklah memakamkan sang mayat di kota tempat ia wafat dan tidak dipindahkan ke kota atau negeri lain. Hal ini disebabkan pemindahan berarti bertentangan atau menyalahi perintah untuk menyegerakan pengurusan, sebagaimana diriwayatkan dalam hadis Abu Hurairah tadi. Juga berdasarkan hadis Jabir bin Abdillah r.a. ketika ia mengatakan,
Langganan:
Postingan (Atom)